Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, mengkritik usulan Ketua Mahkamah Agung Sunarto untuk menyerahkan aturan teknis tentang proses hukum acara dalam revisi KUHAP, seperti penyidikan, penuntutan, dan proses peradilan pada masing-masing lembaga penegak hukum. Menurut dia, aturan teknis tentang hukum acara harus diatur secara rigid dalam Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk menghindari adanya aturan tumpang tindih serta konflik kewenangan antarlembaga.
“Kalau masing-masing lembaga mengatur aturan teknisnya sendiri, yang terjadi akan seperti sekarang, kacau,” kata Maidina saat dihubungi Tempo pada Rabu, 25 Juni 2025.
Salah satu contoh aturan teknis yang tumpang tindih antarlembaga adalah aturan tentang keadilan restoratif atau restorative justice. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP belum mengenal mekanisme penyelesaian perkara di luar peradilan melalui keadilan restoratif. Sehingga, masing-masing lembaga penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung memiliki aturan teknisnya sendiri tentang keadilan restoratif.
Dia memberi contoh, dalam Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif memperkenalkan mekanisme penghentian penyelidikan dalam upaya restorative justice. Padahal, KUHAP tidak mengatur adanya mekanisme penghentian penyelidikan karena proses penyelidikan hanya berfungsi untuk mengidentifikasi apakah suatu peristiwa merupakan peristiwa pidana atau bukan. Ditambah lagi, kata Maidina, Perpol itu juga tidak mengatur tentang pengawasan terhadap mekanisme penghentian penyelidikan atas tercapainya upaya keadilan restoratif.
“Kalau masing-masing lembaga buat aturan internalnya sendiri, yang terjadi seperti kondisi existing. Masing-masing penegak hukum punya aturan sendiri yang bertentangan satu sama lain dan enggak ada padanannya dalam KUHAP,” kata dia.
Maidina berpendapat apabila pemerintah ingin aturan KUHAP tetap relevan dengan perkembangan zaman dan memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat, pemerintah dapat melakukan revisi terhadap KUHAP secara berkala seperti yang dilakukan oleh Belanda. Revisi itu, kata Maidina, dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan empiris dan akademis yang diajukan para ahli. “KUHAP harus direvisi terus menerus dan proses perubahan itu seharusnya mudah, ini PR legislasi ya,” kata dia.
Sebelumnya, Ketua MA Sunarto memberi masukan agar Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak terlalu rigid atau kaku. Menurut dia, KUHAP baru sebaiknya memberikan ruang bagi penegak hukum untuk merumuskan aturan-aturan teknis mengenai proses penegakan hukum sesuai dengan kewenangan masing-masing lembaga.
Sunarto menilai, aturan teknis yang terlalu rigid sering kali cepat rusak dan tidak lagi relevan dengan kondisi masyarakat yang dinamis. “Saya melihat bahwa aturan-aturan yg cepat rusak. Karena mengatur sampai sedikit teknisnya. Mari kita menata pemikiran kita bahwa hal-hal yang bersifat teknis, serahkan kepada penjaga teknisnya masing-masing,” kata dia dalam sambutannya pada acara penandatanganan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) di Kantor Kemenkum pada Senin, 23 Juni 2025.