Ketua Komisi bidang pertahanan DPR Utut Adianto meminta Mahkamah Konstitusi untuk tak menerima gugatan uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI. Gugatan UU TNI itu diajukan mahasiswa lintas kampus dan koalisi masyarakat sipil.
Dia mengatakan, para pemohon tak memiliki kedudukan hukum atau legal standing dalam mengajukan gugatan ini. Sebab, para pemohon tak memiliki pertautan langsung dengan UU yang disahkan DPR pada 21, Maret 2025 ini.
“Karena tidak berkapasitas sebagai TNI aktif, calon prajurit, atau pegawai di instansi yang berpotensi dirugikan dengan masa jabatan yang memungkinkan dijabat oleh TNI,” kata Utut dalam sidang lanjutan gugatan UU TNI di gedung MK, Senin, 23 Juni 2025.
Adapun, dalam petitum DPR, Utut menyatakan bahwa pemohon tidak memiliki legal standing dalam mengajukan gugatan uji formil UU TNI, sehingga permohonan itu harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Mahkamah, kata dia, juga harus menolak permohonan tersebut untuk seluruhnya, atau paling tidak menyatakan permohonan itu tidak dapat diterima. “Serta menerima keterangan DPR secara keseluruhan,” ujar politikus PDIP itu.
Secara proses, dia mengklaim, pembentukan UU TNI telah memenuhi seluruh unsur dan mekanisme yang diperlukan, sebagaimana kesesuaian asas pembentukkan perundang-undangan.
Komisi bidang pertahanan DPR, kata dia, juga telah memenuhi asas kedayagunaan dan hasil kegunaan sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi. “Prosesnya telah melalui sejumlah mekanisme hukum acara,” ucap Utut.
Dengan terpenuhinya asas serta mekanisme, dia melanjutkan, tak ada asas yang dilanggar dalam proses pembentukkan UU TNI oleh DPR. Apalagi, DPR juga memenuhi kewajiban untuk menyelenggarakan partisipasi bermakna.
Partisipasi bermakna yang dimaksud, Utut menjelaskan, ialah dengan menyelenggarakan rapat dengar pendapat umum atau RDPU dengan para ahli dan masyarakat.
Perkara yang akan disidangkan hari ini, antara lain perkara nomor 45, 56, 69,75, dan 81/PUU-XXIII/2025 yang diajukan mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia, FH Universitas Padjajaran, FH Universitas Gadjah Mada, dan koalisi masyarakat sipil.