Tantangan Penyandang Disabilitas dalam Akses Transportasi Publik, Infrastruktur dan SDM Belum Inklusif

coba di sini HTML nya

Penyandang disabilitas masih mengalami kesulitan dalam mengakses transportasi umum di Indonesia.

Aktivis disabilitas alumni Flinders University, Australia, Richard Kennedy, menyampaikan kisah nyata seorang pegawai disabilitas yang bekerja di lembaga publik bidang transportasi. Difabel itu justru mengalami diskriminasi dalam sektor yang seharusnya ia bantu bangun.

 

“Pertama, ia tidak mendapatkan bantuan yang layak dari pengemudi bus. Kedua, ia harus mendengar komentar menyakitkan dari sesama penumpang: ‘Kalau pakai kursi roda, enggak usah pergi-pergi’,” cerita Richard dalam Lunch Talk perdana Gerakan Literasi Inklusi (GELITIK) secara daring, Rabu (11/6/2025).

“Jika seseorang yang bekerja di dalam sistem pun masih diperlakukan seperti ini, bagaimana dengan teman-teman disabilitas lain yang tidak punya posisi, akses, atau kekuasaan?” tambahnya.

Dalam kesempatan yang sama, Suryandaru, alumni Flinders University dan peneliti hak disabilitas, membagikan temuan risetnya tentang pengalaman penyandang disabilitas netra dalam mengakses transportasi publik di Semarang.

Hasilnya mencengangkan, mulai dari infrastruktur yang tidak ramah—bahkan berbahaya—hingga layanan yang tidak memahami kebutuhan disabilitas. Serta kisah menyayat hati tentang pelecehan seksual yang dialami oleh penumpang disabilitas saat menggunakan kendaraan umum.

Suryandaru juga menyoroti sisi lain dari kemajuan transportasi daring yang sejatinya membuka akses mobilitas. Namun, tetap menyisakan hambatan karena desain aplikasinya yang mengabaikan prinsip inklusivitas digital.

Diskusi semakin mengerucut ke akar persoalan ketika Arya Yoga Rudhita, alumni University of Queensland dan anggota Tim Inklusi Kementerian Perhubungan, menyampaikan pengalamannya dari dalam lembaga pemerintah.

Yoga mengakui bahwa hambatan terbesar terletak pada dua hal yakni infrastruktur yang tidak aksesibel dan sumber daya manusia yang belum memiliki perspektif inklusi.

Meski begitu, harapan tetap ada. Tim Inklusi yang dibentuk sejak tahun 2023 telah menyusun dua modul penting mengenai infrastruktur dan layanan transportasi ramah disabilitas, serta membuka kanal pengaduan bagi masyarakat. Namun, Yoga menyadari bahwa pengaduan hanya akan efektif jika diketahui dan dipercaya oleh publik.

“Pekerjaan rumah kami adalah menjangkau lebih banyak orang melalui komunikasi yang tepat,” ucapnya.

 

Lebih jauh, Tim Inklusi kini sudah duduk di meja perencana transportasi di sejumlah daerah. Langkah krusial agar kebutuhan orang dengan disabilitas perlu tertanam sejak cetak biru kebijakan, bukan ditempel belakangan.

Sayangnya, skema ini belum menjangkau sebagian besar provinsi, kabupaten, dan kota karena keterbatasan personel dan mandat.

“Solusinya jelas: replikasi. Pemerintah daerah perlu menyalin dan menyesuaikan model Tim Inklusi agar transportasi publik ramah disabilitas benar-benar merata di seluruh Indonesia,” ujar Yoga.

 

Momen diskusi memanas saat salah satu peserta mengangkat isu pemangkasan anggaran Teman Bus demi efisiensi.

Baik Suryandaru maupun Yoga menegaskan bahwa efisiensi tidak boleh menjadi dalih untuk memangkas akses. 

“Aksesibilitas bukan bonus—ia adalah hak dasar disabilitas!”

Suara dari daerah pun menguatkan narasi ketimpangan ini. Peserta dari Dinas Perhubungan Kota Makassar menyampaikan bahwa pembangunan moda transportasi yang aksesibel masih menjadi beban pemerintah daerah, tanpa dukungan signifikan dari pemerintah pusat.

Hal ini diamini oleh peserta dari Dinas Perhubungan Provinsi Sulawesi Tengah, yang menekankan pentingnya pendekatan lintas sektor dan anggaran yang terintegrasi untuk menjawab tantangan transportasi inklusif.

 

Dari diskusi ini, GELITIK merumuskan lima catatan utama, yakni:

  • Aksesibilitas dalam transportasi publik bukan hanya urusan teknis, melainkan juga persoalan politik dan etika. Diperlukan kolaborasi lintas sektor terutama dengan melibatkan penyandang disabilitas dalam seluruh proses: perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, hingga pembaruan kebijakan.
  • Tanpa komitmen politik yang kuat dari pemerintah pusat dan daerah, sistem transportasi yang inklusif hanyalah wacana kosong. Kemauan politik harus dibuktikan lewat regulasi, pengawasan, dan partisipasi yang bermakna.
  • Dukungan anggaran adalah kunci. Setiap rupiah yang dikeluarkan negara harus tunduk pada prinsip Disability Equity and Social Inclusion. Tanpa itu, anggaran hanya akan menjadi alat pelanggeng ketimpangan.
  • Transportasi aksesibel tak hanya bermanfaat bagi kelompok disabilitas, tetapi juga memudahkan seluruh pengguna. Prinsip universal design membuat sistem lebih aman, nyaman, dan efisien bagi lansia, anak-anak, orang tua yang membawa stroller, pelancong dengan barang bawaan, dan masyarakat luas.
  • Aksesibilitas adalah hak asasi manusia yang tak bisa dikorbankan atas nama efisiensi, penghematan, atau prioritas politik jangka pendek.

 

Tartous2day.news

Tartous2Day News adalah portal berita lokal yang menyediakan informasi terkini tentang kota Tartous dan sekitarnya. Temukan berita, acara, serta ulasan tentang tempat wisata dan kuliner di daerah tersebut.

2025 Anak AS Bantuan Dedi Mulyadi Depok DPR Emas Gadget Haji Harga Idul Adha Indonesia Iran Israel Jakarta Jawa Barat Jokowi Kambing Kasus Kebakaran Kejagung Kesehatan Korupsi KPK Kurban Masyarakat Militer Negara Ormas Papua PDIP Pemerintah Pendidikan Perang Polisi Politik Prabowo Presiden Raja Ampat Sapi Siswa Tips TNI Viral