Putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh terpidana korupsi KTP elektronik (e-KTP), Setya Novanto atau yang biasa disingkat Setnov, menuai gelombang kritik dari berbagai pihak, termasuk Indonesia Corruption Watch (ICW), eks penyidik KPK, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
ICW menyatakan keputusan ini membuat hukuman penjara mantan Ketua DPR tersebut berkurang menjadi 12 tahun 6 bulan dari yang sebelumnya 15 tahun. Tak hanya itu, hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik juga ikut dipangkas dalam vonis terbaru.
“Bagi kami, pengurangan hukuman pidana terhadap Setya Novanto memberikan efek negatif pada pemberantasan korupsi,” tutur peneliti ICW, Erma Nuzulia Syifa, saat dihubungi Tempo, pada Kamis, 3 Juli 2025.
Erma mengatakan pengurangan hukuman tersebut cukup signifikan, sebab memungkinkan Setnov memperoleh kembali hak politiknya lebih cepat dari waktu yang seharusnya. Ia juga mengingatkan bahwa kasus korupsi pengadaan KTP elektronik ini telah merugikan keuangan negara hingga Rp 2,3 triliun.
Sedangkan Setnov juga menikmati keuntungan sekitar Rp 300 miliar dari praktik kotor tersebut. “Kami pun memandang, seharusnya Mahkamah Agung menolak permohonan PK Setya Novanto,” kata Erma. “Oleh sebab itu, kami sungguh menyayangkan Mahkamah Agung yang telah mengabulkan PK Setya Novanto.”
Eks Penyidik KPK: Mencoreng Rasa Keadilan Publik
Mantan penyidik KPK, Praswad Nugraha, menyatakan kekecewaannya soal keputusan MA yang mengabulkan PK dari Setnov. Menurut dia, penyunatan hukuman dari 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan itu telah mencederai rasa keadilan publik.
“Korupsi e-KTP adalah salah satu korupsi besar dan kompleks yang pernah ditangani KPK, bukan hanya karena alur transaksinya, tetapi bagaimana upaya Setya Novanto untuk melepaskan diri dari tanggung jawab,” ucapnya dalam keterangan tertulis kepada Tempo, Kamis, 3 Juli 2025.
Praswad melanjutkan, publik perlu mengingat dan memahami konteks penanganan kasus korupsi e-KTP. Kala itu, ia termasuk salah satu penyidik KPK yang terlibat langsung. Ia menjelaskan bahwa proses hukum menghadapi berbagai tekanan dan intervensi, salah satunya adalah insiden saat Setnov berusaha menghindar dari penangkapan KPK setelah tiga kali mangkir dari panggilan pemeriksaan.
“Secara personal Setya Novanto berupaya melarikan diri yang mana hal tersebut dilakukan ketika saya menjadi salah satu penyidik yang ditugaskan untuk menangkapnya ketika berstatus sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO) pada 2017,” kata dia.
Praswad menceritakan bahwa penangkapan Setya Novanto di RS Medika Permata Hijau berjalan sangat sulit karena adanya berbagai upaya penghalang dari pihak pengacara dan dokter. Bahkan ia harus berjaga di depan pintu rumah sakit sepanjang malam demi memastikan Setnov tidak melarikan diri.
Menurut Praswad, keputusan MA yang mengabulkan permohonan PK Setnov merupakan preseden yang serius dan merusak kepercayaan publik terhadap penegakan keadilan dalam kasus korupsi besar. Ia menegaskan Setnov bukanlah terpidana biasa, melainkan sosok kunci dalam skandal e-KTP yang menyebabkan kerugian negara hingga triliunan rupiah.
“Dengan mengabulkan PK dan menyunat vonis menjadi 12,5 tahun, Mahkamah Agung secara tidak langsung mengirim pesan bahwa pelaku korupsi besar pun dapat memperoleh keringanan hukuman, terlepas dari tingkat kejahatan dan dampaknya terhadap bangsa,” ucapnya.
KPK Sebut Harusnya Koruptor Diberi Efek Jera
Juru bicara KPK, Budi Prasetyo, menegaskan bahwa penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi harus mampu menciptakan efek jera yang nyata bagi para pelakunya. “Sebagai extraordinary crime, tentu butuh upaya-upaya yang bisa memberikan efek jera kepada para pelaku, termasuk bagaimana kami mengoptimalkan pemulihan keuangan negaranya,” ujar Budi di Gedung Merah Putih KPK, Rabu, 2 Juli 2025.
Budi mengungkapkan, kejahatan korupsi memberikan kerugian besar bagi negara dan masyarakat, sehingga sudah seharusnya pelaku korupsi dijatuhi hukuman yang mampu memberikan efek jera.
Meski demikian, ia menyatakan bahwa KPK menghormati keputusan hakim sebagai wujud independensi lembaga peradilan. Budi juga mengajak masyarakat untuk aktif mengawasi kinerja penegak hukum agar proses pemberian hukuman terhadap koruptor berjalan dengan adil dan tegas.