Sejumlah besar bom penghancur bunker dan rudal jelajah menghantam jantung infrastruktur nuklir Iran selama dua pekan terakhir. Tak ada angka pasti tentang berapa banyak proyektil yang telah dilepaskan. Namun pada Minggu, 22 Juni, saja, dilaporkan sebanyak 14 bom seberat 13,6 ton dan 30 rudal Tomahawk menghujani fasilitas nuklir Fordow, Isfahan, dan Natanz.
Hingga kini, laporan soal dampak serangan gabungan Amerika Serikat dan Israel itu masih simpang siur. “Kami memang melihat beberapa kerusakan lewat citra satelit, tapi kami belum bisa memastikan skala kerusakan dan nilai kerugiannya,” kata Gaukhar Mukhatzhanova, pakar dari Pusat Pelucutan Senjata dan Non-Proliferasi di Wina, kepada Deutsche Welle (DW), 23 Juni lalu seperti dikutip Sabtu (28/6/2025).
Lembaga Energi Atom Internasional (IAEA) menduga ada kontaminasi radioaktif dan kimia di sejumlah lokasi. Yang paling mencemaskan adalah kemungkinan kerusakan ribuan sentrifugal di fasilitas bawah tanah Fordow akibat padamnya aliran listrik secara mendadak.
Sentrifugal digunakan untuk memproses uranium heksafluorida (UF6), zat ultrareaktif yang jika bocor bisa membawa risiko kesehatan dan lingkungan serius.Sejauh ini belum ada laporan resmi tentang lonjakan radiasi di luar kompleks nuklir Iran. Namun, IAEA tidak memiliki akses langsung ke lokasi terdampak. Sementara dari pihak berwenang di Iran, yang terdengar hanyalah keheningan.
“Masalah terbesar kita adalah ketidaktahuan,” ujar Rozbeh Eskandari, pakar lingkungan asal Iran yang kini menetap di Kanada. Eskandari, yang telah bertahun-tahun meneliti pencemaran lingkungan di negaranya, mengkritik keras kurangnya informasi yang diberikan pemerintah Iran kepada publik.
“Pemerintah selalu mengatakan semuanya terkendali. Tapi mereka juga tidak memberi informasi yang bisa diverifikasi, bahkan kepada warga yang tinggal dekat dengan lokasi ledakan,” katanya.
Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Pada akhir April lalu, sebuah ledakan besar mengguncang pelabuhan Bandar Abbas, selatan Iran. Api membakar zat-zat kimia yang memuntahkan awan pekat berisi jelaga, nitrogen oksida (NOx), sulfur dioksida (SO₂), dan polutan lainnya. Udara di kawasan sekitar memburuk selama beberapa hari.
Pola serupa muncul dalam video-video media sosial pasca-serangan udara Israel terhadap pangkalan rudal di Iran.
Eskandari menekankan bahwa polutan seperti ini bukan hanya mengotori udara, tetapi juga menyerap ke dalam tanah. “Pencemaran tanah akibat konflik bersenjata adalah bencana lingkungan yang paling sering diabaikan,” ujarnya. Racun-racun itu bisa menetap selama puluhan tahun di lapisan atas tanah, menurunkan kualitasnya, menghilangkan kesuburan, dan menghambat regenerasi alami.
Bagi Iran, kerusakan lingkungan akibat konflik bukan cerita baru. Selama delapan tahun perang Iran-Irak (1980–1988), provinsi seperti Chuzestan, Ilam, dan Kermansyah mengalami kehancuran besar.
Chuzestan, wilayah strategis dengan ladang minyak dan kawasan industri utama, dibombardir tanpa henti. Aktivitas militer meninggalkan endapan logam berat dan residu beracun di banyak tempat. Tanah yang dulunya subur menjadi tidak bisa digarap. Penelitian dari universitas-universitas lokal menemukan peningkatan tajam dalam kasus kanker, gangguan pernapasan, dan penyakit kulit di kalangan warga lokal.
Ekologi yang rusak ini diperparah oleh tata kelola buruk dan perubahan iklim. Gelombang panas makin sering datang, memaksa banyak warga meninggalkan kampung halaman.
Statistik terakhir menunjukkan, Chuzestan mencatat angka perpindahan penduduk tertinggi di antara seluruh provinsi Iran dalam dua dekade terakhir. Kota Shush — salah satu kota tertua yang terus dihuni sejak ribuan tahun lalu dan pernah menjadi ibu kota Kekaisaran Elam — serta Shushtar, dengan sistem irigasi kuno yang diakui UNESCO, kini menyusut penduduknya dari tahun ke tahun.
Serangan terhadap instalasi nuklir bukan hanya soal militer atau strategi geopolitik. Dia juga membawa dampak senyap namun mematikan: pencemaran tanah, ancaman kesehatan jangka panjang, dan pergeseran demografi. Dalam diamnya, tanah yang terkontaminasi dan rusaknya ekosistem, tersimpan trauma kolektif bangsa yang belum benar-benar selesai.
Dan hari ini, ketika langit Iran kembali menghitam oleh asap ledakan, satu pertanyaan mengemuka: akankah sejarah kehancuran ekologis kembali terulang, atau bisakah dunia internasional mencegahnya kali ini?