Nilai tukar Rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada Selasa, 15 Juli 2025. Hal ini terjadi setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengenakan tarif impor baru terhadap Uni Eropa dan Meksiko.
Rupiah ditutup melemah 16 poin terhadap dolar AS (USD), setelah melemah 55 poin di level 16.266 dari penutupan sebelumnya di level 16.250.
“Sedangkan untuk perdagangan besok, mata uang Rupiah fluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp16.260 – Rp16.300,” ungkap pengamat mata uang, Ibrahim Assuaibi dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (15/7/2025).Rupiah melemah menyusul langkah Presiden AS Donald Trump untuk mengenakam tarif impor baru terhadap Uni Eropa dan Meksiko.
Sehari sebelumnya, Presiden Trump juga mengungkapkan akan mengenakan tarif sekunder sebesar 100% terhadap Rusia jika Presiden Rusia Vladimir Putin tidak mencapai kesepakatan dalam 50 hari untuk mengakhiri perang di Ukraina.
“Meskipun ancaman tarif baru-baru ini tidak berdampak besar pada pergerakan pasar secara keseluruhan, para pedagang mempertimbangkan apakah AS benar-benar akan mengenakan tarif tinggi pada negara-negara yang terus berdagang dengan Rusia serta menahan diri untuk tidak memasang taruhan besar di tengah ketidakpastian,” papar Ibrahim.
Ia menyebut, pasar kini fokus pada perkembangan data inflasi indeks harga konsumen AS untuk Juni 2025 yang akan dirilis pada Selasa, 15 Juli 2025 waktu setempat, dan diharapkan dapat memberikan wawasan lebih lanjut tentang dampak ekonomi dari tarif Donald Trump.
Sementara itu, Ketua The Federal Reserve (the Fed), Jerome Powell memperkirakan tarif mendorong inflasi AS lebih tinggi pada musim panas ini, yang kemungkinan membuat bank sentral menunda kebijakan moneternya hingga akhir tahun.
Sementara itu, di Asia, ekonomi Tiongkok tumbuh 5,2% year-on-year pada kuartal kedua tahun 2025, sedikit di atas ekspektasi pasar sebesar 5,1%, didukung oleh ekspor yang tangguh dan stimulus pemerintah.
“Pertumbuhan yang kuat ini mencerminkan dampak terbatas dari perang dagang AS, karena tarif yang tinggi hanya berlaku,” Ibrahim menyoroti.
Ibrahim mengatakan, dampak tarif 32% oleh presiden AS Donald Trump untuk produk impor dari Indonesia akan memberikan goncangan besar bagi industri yang berorientasi ekspor.
“Salah satunya adalah industri furnitur. Kebijakan Trump tersebut berpotensi akan menyebabkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK),” ujar dia.
“Penyebab terjadinya PHK karena industri furnitur Indonesia bakal mengalami penurunan yang tajam akibat naiknya harga produk di pasar AS, nilainya berkisar 20-35%,” Ibrahim menambahkan.
Sebagai contoh, produk kursi kayu yang normalnya dijual ke buyer AS seharga USD 100 per unit, dengan tarif ini harganya bisa naik jadi USD 120-135 per unit.
Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Koordinator Airlangga Hartarto mengungkapkan Indonesia mendapatkan penundaan penerapan tarif resiprokal AS sebesar 32%. Hal ini diperoleh usai melakukan negosiasi dengan US Secretariat of Commerce Howard Lutnik dan United States Representative Jamieson Greer, pada 9 Juli 2025.
Selain itu, tingginya harga produk furnitur Indonesia akan menyebabkan kurangnya minat masyarakat AS untuk membeli.
Hal ini mendorong turunnya pesanan, kapasitas produksi dikurangi, dan beban biaya tetap harus ditanggung.
“Ketika produk Indonesia kehilangan konsumen, maka produksi di dalam negeri seret, akibatnya pengerjaan untuk permintaan pun jauh menurun,” ujar Ibrahim.
Meski demikian, Ibrahim melihat, pelaku usaha tetap optimistis dan waspada serta akan mengerahkan semua jalur diplomasi, kolaborasi dengan Kementerian terkait, dan mencari solusi bisnis bersama anggota agar dampak PHK massal bisa dihindari.
“Salah satu caranya mempercepat relokasi produksi atau diversifikasi produk ke segmen yang bernilai tambah lebih tinggi dan tidak terlalu sensitif pada perang tarif, misalnya produk customized, produk luxury, atau produk berbahan baku berkelanjutan,” katanya.