Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat sejak Indonesia Anti-Scam Center (IASC) berdiri pada November tahun lalu, total kerugian yang dilaporkan masyarakat sudah menembus Rp4,6 triliun. Angka ini tercatat hanya dalam kurun waktu kurang dari satu tahun.
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, menyebutkan jumlah tersebut jauh melampaui perkiraan awal.
“Kita bikin studi, 3 semester atau 1,5 tahun itu angka kerugian dilaporkan sekitar Rp 2 triliun. Tapi ternyata baru 8 bulan, mungkin sekarang 10 bulan dari sejak didirikan, angka kerugian masyarakat sudah Rp 4,6 triliun rupiah, ini besar sekali,” kata Friferica dalam acara Kampanye Nasional Berantas Scam dan Aktivitas Keuangan Ilegal, di Hotel Raffles Jakarta, Selasa (19/8/2025).
Menurut Friderica, fenomena ini menjadi alarm keras bahwa kejahatan digital di sektor keuangan semakin sistematis dan masif. Scam kini tidak hanya menjerat masyarakat dengan pendidikan rendah, tetapi juga menyasar kalangan profesional, bahkan pejabat.
“Jadi, masyarakat kita sudah menggunakan digitalisasi, tetapi mereka secara digital financial literasinya masih belum cukup tinggi. Jadi itu yang harus terus kita dorong, supaya kita bagaimana membantu masyarakat ya, supaya mereka sudah menggunakan keuangan digital, jangan sampai mereka menjadi korban,” jelasnya.
Sejak beroperasi, IASC sudah menerima 225 ribu laporan dari masyarakat. Dari jumlah itu, ada 72 ribu rekening yang berhasil langsung diblokir, serta total 359 ribu rekening teridentifikasi terlibat dalam aktivitas penipuan. Angka ini menunjukkan luasnya jaringan scammer yang memanfaatkan celah digital.
“Jumlah laporan yang diterima 225 ribu laporan, jumlah rekening yang langsung kita blokir 72 ribu, kemudian yang dilaporkan rekeningnya 359 ribu rekening,” ujarnya.
Adapun kata Friderica, setiap hari, IASC menerima 700–800 laporan kasus penipuan. Jumlah ini jauh di atas negara lain, misalnya Singapura yang hanya mencatat 140–150 laporan harian.
Adapun perempuan yang akrab disapa Kiki ini, menyampaikan bentuk penipuan yang dilaporkan sangat beragam, mulai dari love scam, lowongan kerja palsu, phishing melalui aplikasi perbankan, hingga penipuan lewat marketplace dan aset kripto.
Artinya, scammer terus mengadaptasi modus sesuai perkembangan tren digital. OJK pun menegaskan bahwa perbankan, fintech, perusahaan efek, dan marketplace harus ikut bertanggung jawab.
“Kemudian nggak sengaja transfer, nggak sengaja mereka kena scam, mungkin love scam, tawaran pekerjaan, dan lain-lain, itu masuknya diadukan ke Indonesia Anti-Scam Center yang juga merupakan dimiliki oleh seluruh satgas pasti tersebut,” pungkasnya.