Pernikahan Dini Anak 15 dan 17 Tahun di NTB, Menteri PPPA: Ini Bentuk Kekerasan Seksual

coba di sini HTML nya

Nusa Tenggara Barat (NTB) kembali menjadi sorotan setelah terungkap kasus pernikahan dini yang melibatkan anak berusia 15 dan 17 tahun di Lombok Tengah.

Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Mataram telah melaporkan kasus ini ke Polres Lombok Tengah sebagai bentuk penegakan hukum terhadap praktik pernikahan anak yang melanggar Undang-Undang Perkawinan.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi menegaskan bahwa pernikahan dini yang dilakukan di bawah umur merupakan bentuk kekerasan seksual.

 

“Pemerintah Indonesia telah berkomitmen melindungi hak anak dan mencegah pernikahan di bawah usia 19 tahun sesuai Undang-Undang Perkawinan,”

“Bahkan, dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Pasal 4, pemaksaan perkawinan anak termasuk kekerasan seksual,” tambahnya.

Ketua LPA Kota Mataram, Joko Jumadi, menjelaskan, pasangan pernikahan dini di NTB tersebut adalah SY (15) dari Desa Sukaraja, Kecamatan Praya Timur, dan SR (17) dari Desa Braim, Kecamatan Praya Tengah.

“Kami melaporkan seluruh pihak yang terlibat aktif dalam proses pernikahan dini ini, termasuk orang tua dan pihak penghulu yang menikahkan,” kata Joko seperti dikutip dari Antara.

Pernikahan yang sempat dicegah oleh pemerintah desa setempat itu tetap berlangsung secara diam-diam tanpa sepengetahuan aparat desa.

Upaya pencegahan dilakukan berkali-kali. Namun, kedua pihak keluarga tetap ngotot untuk melangsungkan pernikahan.

Bahkan, setelah pernikahan terjadi, aparat desa melarang pelaksanaan prosesi adat nyongkolan yang kemudian viral di media sosial.

Kasat Reskrim Polres Lombok Tengah, Iptu Luk Luk Il Maqnun, membenarkan laporan tersebut. “Laporan baru masuk. Kami akan memanggil saksi-saksi dan pihak terkait untuk pendalaman kasus ini,” katanya.

Kasus ini mencuat di tengah proses dialog konstruktif antara Pemerintah Indonesia dengan Komite Konvensi Hak Anak di Jenewa pada awal Mei 2025.

Isu perkawinan dini menjadi perhatian serius karena dampaknya yang luas terhadap kesejahteraan anak, seperti putus sekolah, stunting, dan rendahnya lama sekolah.

Meski prevalensi perkawinan anak di Indonesia menurun menjadi sekitar 5 persen pada tahun 2024, jumlah anak yang menikah dini masih tergolong tinggi.

Arifah, mengatakan,”Pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan masyarakat sipil telah berupaya mencegah pernikahan dini melalui program dan kebijakan. Namun, tantangan di lapangan masih sangat besar.”

LPA Mataram dan Koalisi OMS Stop Kekerasan Seksual di NTB menilai upaya hukum yang sedang berjalan sangat penting untuk memberikan efek jera kepada orang tua yang memaksa menikahkan anaknya.

Meski demikian, mereka juga mengingatkan bahwa upaya penegakan hukum saja belum cukup untuk mengubah pola pikir masyarakat yang masih memegang nilai-nilai adat bertentangan dengan hukum positif.

“Kami mendorong anak-anak di NTB, terutama melalui Forum Anak dan komunitas remaja, untuk menyuarakan aspirasi dan hak-hak mereka. Suara anak sangat berharga dalam memastikan seluruh daerah di NTB bebas dari pernikahan dini,” kata Arifah.

Forum Anak dan teman sebaya dapat menjadi ruang aman untuk berdiskusi tentang kesehatan reproduksi, kekerasan, dan eksploitasi yang mungkin dihadapi remaja.

Arifah juga mendorong pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di NTB untuk menginvestasikan sumber daya dalam penguatan kecakapan hidup anak dan edukasi masyarakat.

“Pendidikan dan perlindungan anak adalah kunci untuk mencegah praktik pernikahan dini yang merugikan masa depan generasi muda,” tambahnya.

Kasus pernikahan dini yang viral ini menjadi pengingat pentingnya penegakan hukum, edukasi, dan perubahan sosial agar Indonesia bisa mencapai target bebas pernikahan anak menuju Indonesia Emas 2045.