Halaman rumah di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta Pusat, pagi itu terasa berbeda. Jumat, 17 Agustus 1945, sekitar pukul 08.00 WIB, puluhan pemuda sudah bersiap menyambut hari yang mereka yakini akan menjadi titik balik bangsa. Namun, sang tuan rumah, Soekarno, masih terlelap di ranjang. Kondisinya sedang tidak fit.
Dalam buku Api Sejarah, yang ditulis Ahmad Mansur Suryanegara menulis bahwa dua jam sebelum pembacaan teks Proklamasi, suhu tubuh Soekarno masih tinggi akibat serangan malaria.
Sejak kembali dari Rengasdengklok dan bergadang semalaman merumuskan naskah proklamasi di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda, tubuhnya drop.
“Badanku menggigil dari kepala sampai kaki. Suhu tubuhku naik sampai 40 derajat. Meski sakitku sangat parah, aku tak dapat pergi tidur begitu sampai di rumah. Aku langsung ke meja tulisku dan duduk di sana selama berjam-jam,” kenang Bung Karno dalam autobiografinya, Penyambung Lidah Rakyat.
Tak lama, dokter pribadinya, Soeharto Sastrosoeyoso, tiba. Ia memberanikan diri masuk ke kamar Ketua PPKI itu dan membangunkannya. “Pating greges,” ujar Sukarno, mengeluh demam.
Dokter lalu memberikan suntikan chinine-urethan intramusculair serta obat broom-chinine. Karena hari itu bertepatan dengan hari kedelapan bulan Ramadan, Sukarno yang sebelumnya menjalani ibadah puasa, hari itu tidak berpuasa.
Selain obat, Bung Karno juga meneguk madu Sidr asal Hadramaut, Yaman, pemberian Faradj Martak, saudagar keturunan Arab yang akrab dengannya.
Madu yang diyakini bersifat antibiotik alami itu rutin dikirimkan kepadanya setiap satu hingga dua bulan sekali.
Obat-obatan dan madu itu bekerja cepat. Sekitar pukul 09.30 WIB, setengah jam sebelum upacara, suhu tubuhnya turun. Kendati sudah merasa lebih baik, Sukarno menolak membacakan teks proklamasi tanpa kehadiran Mohammad Hatta.
Sesaat sebelum acara dimulai, Hatta tiba dengan setelan putih-putih. Ia langsung masuk ke kamar dan mengajak Sukarno bersiap. Dengan pakaian serupa, didampingi Fatmawati, mereka berjalan menuju teras.
Di teras, sejumlah tokoh sudah menunggu, ada Ahmad Subardjo, Soewirjo, Soekarni, Soejono, Latuharhary, SK Trimurti, hingga AG Pringgodigdo.
Sementara itu, massa yang berkumpul sejak pukul 07.00 WIB memenuhi halaman dan jalanan sekitar. Mereka membawa bambu runcing, sekop, tongkat, golok bersiap menghadapi kemungkinan gangguan dari tentara Jepang atau Sekutu.
“Pesan sudah tersebar bahwa Bung Karno akan menyatakan kemerdekaan. Kita harus melindungi Bung Karno,” demikian kesaksian yang tercatat dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Sekitar pukul 10.00 WIB, momen bersejarah itu tiba. Dengan suara mantap, Sukarno membuka pidato singkatnya, lalu membacakan teks Proklamasi yang dirumuskan malam sebelumnya bersama para pemimpin bangsa.
Setelah kata “Indonesia Merdeka” terucap, haru membuncah. Pemuda dan tokoh yang hadir saling berpelukan, meneriakkan yel-yel kemerdekaan.
“Merdeka..” seru mereka yang hadir saat itu.
Upacara dilanjutkan dengan pengibaran bendera Merah Putih karya jahitan Fatmawati. SK Trimurti, yang awalnya diminta menjadi pengibar, menolak demi memberi kehormatan kepada prajurit.
Latief Hendraningrat dari PETA pun maju, dibantu Suhud.
Tanpa protokoler resmi, usai bendera berkibar, massa perlahan bubar. Sukarno kembali ke kamarnya. Namun di luar sana, euforia merdeka mulai merambat ke pelosok negeri, mengabarkan kepada seluruh rakyat bahwa belenggu penjajahan telah patah.
Indonesia telah berdiri sebagai negara merdeka.