Kasus Korupsi kapal pesiar di Sulawesi Tenggara, diduga merugikan negara hingga Rp 9,8 miliar saat yacht buatan Italia itu dibeli Pemprov Sultra 2020 lalu. Pemprov melalui biro umum, membeli kapal melalui proses lelang.
Ternyata, kapal tersebut ilegal karena masih berbendera Singapura hingga hari ini. Selain itu, sejumlah surat-surat kelengkapan kapal, sudah kadaluarsa di negara asalnya saat dibeli Pemprov Sultra.
Diketahui, awal 2023, Subdit Tipidkor Ditkrimsus Polda Sultra sudah mengendus dugaan indikasi korupsi. Namun, hingga saat ini kasus belum dituntaskan. Salah satu alasannya, Polda Sultra belum secara resmi merilis tersangka.
Sejak kasus mulai bergulir di polisi, sudah dua kapolda berganti. Kedua sosok pimpinan tertinggi polisi di bumi anoa ini, belum mampu menyelesaikan kasus pengadaan kapal pesiar mewah yang diduga melibatkan kerabat dari seorang pebisnis besar di Indonesia.
Awalnya, kasus mulai masuk di meja penyidik saat Irjen Pol Teguh Pristiwanto (Oktober 2021-2024) memimpin. Namun, sampai masa jabatannya berakhir, korupsi kapal pesiar di Pemprov Sultra belum menemui titik terang.
Selanjutnya, Irjen Pol Dwi Irianto menggantikan Irjen Teguh. Namun, sejak menjabat 26 April 2024 hingga Mei 2025, kasus korupsi belum juga ia tuntaskan. Saat ini, Dwi Irianto sudah menuju masa pensiun dan diganti oleh Irjen Didik Agung Widjanarko.
Fakta lainnya, selama kasus korupsi kapal pesiar di Pemprov Sultra ini bergulir, sudah terjadi 4 kali pergantian Kasubdit Tindak Pidana Korupsi (Tipidkor). Keempatnya yakni, AKBP Honesto R Dasinglolo, Kompol I Gde Arya, AKBP Rico Fernanda. Saat ini, Kompol Aryo Putranto tengah menangani penyidikan kasus, menggantikan AKBP Rico Fernanda yang sudah menjabat Kapolres Konawe Utara beberapa waktu lalu.
Tidak hanya itu, sejak kasus ini bergulir, ada perombakan dalam tim penyidik yang sudah merintis dan mengumpulkan informasi serta data-data sejak kasus mulai bergulir.
Dir Krimsus Polda Sultra Kombes Pol Bambang Widjanarko, saat dikonfirmasi terkait perkembangan kasus mengatakan, saat ini tengah dilakukan pemeriksaan 24 orang saksi terkait.
polisi juga sudah menggelar ekspos dengan BPKP Sulawesi Tenggara. Penyidik Polda dan BPKP bertemu pada 19 Februari 2025. Hal ini, berkaitan dengan permintaan Polda ke BPKP terkait perhitungan jumlah kerugian negara.
Bambang membenarkan, dugaan terjadi total lost dalam proyek pengadaan kapal pesiar di Pemprov Sultra oleh Biro Umum Pemprov Sultra. Keugian negara diperkirakan mencapai Rp 9,8 miliar. Namun, polisi menunggu hasil rilis BPKP Sulawesi Tenggara.
Awalnya, Pemprov Sulawesi Tenggara (Sultra) dibawah kepemimpinan Gubernur Ali Mazi, membeli kapal mewah jenis yacht dengan nama Azimuth Atlantis. Melalui proses lelang di LPSE, proyek menghabiskan anggaran senilai Rp9,8 miliar.
Perusahaan pemenang tender, yakni CV Wahana, memenangkan tender. Setelah itu, pihak perusahaan membeli langsung kapal pesiar di wilayah DKI Jakarta, di sekitaran Pantai Indah Kapuk (PIK).
Pada tahun 2020, pihak CV Wahana membeli langsung kapal dari seorang yang bernama Toto. Ia mengaku sebagai pemilik kapal yang sah kepada pihak Pemprov Sultra.
Belakangan diketahui, Toto hanyalah pihak kedua yang menjadi tempat penitipan kapal. Ada pemilik lain yang saat ini belum diungkap penyidik Polda Sulawesi Tenggara.
Masalah muncul di tengah penyidikan, ketika Toto meninggal dunia saat kasus korupsi kapal tengah bergulir di Polda Sultra. Setelah kematiannya, mulai terungkap satu persatu adanya cacat administrasi.
Pertama, Saat Pemprov mendatangkan ke Sulawesi Tenggara untuk digunakan, izin operasi kapal di Indonesia sudah habis dan kedaluwarsa.
Kedua, pihak Bea Cukai Kendari mengungkapkan, kapal yacht mewah ini, dibeli Pemprov bukan dalam bentuk barang baru. Namun, barang bekas yang sudah digunakan selama beberapa waktu di Indonesia.
Saat itu, Humas Bea Cukai Kendari Arfan Maksun memaparkan, awalnya kapal ini, masuk ke Indonesia sebagai barang impor sementara pada 2019. Pengurusan izin adminsitrasi kapal, dilakukan di Bea Cukai Marunda, Jakarta Utara.
Saat Bea Cukai Marunda mencari keberadaan kapal karena izin operasi sudah habis, ternyata kapal mewah ini, terpantau keberadaannya di Kota Kendari. Sehingga, Bea Cukai Marunda berkoordinasi dengan pihak Bea Cukai Kendari untuk mengamankan kapal.
“Izin kapal saat masuk Indonesia pada 2019 lalu, menggunakan vessel declaration (VD), umumnya izin ini hanya digunakan untuk tujuan wisata atau ikut event-event di wilayah Indonesia,” ujar Arfan Maksun.
Vessel Declaration dalam istilah bea cukai berarti, administrasi pabean yang digunakan saat impor sementara dan sekaligus digunakan saat ekspor kembali atas kapal wisata asing dan atau suku cadang (spare parts).
“Kapal ini statusnya impor sementara, berarti kapal tidak untuk diperjualbelikan. Berbeda dengan impor pakai,” papar Arfan.
Arfan melanjutkan, karena masa izinnya sudah selesai (kedaluwarsa), harusnya kapal keluar dulu dari wilayah Indonesia. Untuk masuk kembali seperti semula, kapal tersebut harus mengurus ulang adminsitrasi di Bea Cukai Marunda.
“Namun, bukannya kembali ke luar negeri, kapal tersebut berlayar ke Kendari,” ujar Arfan.
Dia mengungkapkan, saat masuk pertama kali di Indonesia tahun 2019, pemilik kapal mengurus izin masuk impor sementara di Bea Cukai Marunda. Izin masuk ini, mesti diperpanjang setiap tahun.
Kata dia, alasan pihak Bea Cukai menahan kapal ini, karena izin kapal sudah selesai masa berlakunya pada 2020. Namun, kapal masih berada di Indonesia serta belum melakukan pengurusan surat izin.
Ternyata, saat kapal seharusnya dalam mengurus surat izin masuk kembali, Pemprov sudah membeli kapal melalui proses lelang dengan nomor Surat Perintah Kerja 602/1445 tanggal 30 Maret 2020. Terkait alasan kapal sudah diklaim sebagai aset pemprov, pihak Bea Cukai Kendari mengatakan, hanya menjalankan arahan dari Bea Cukai Marunda untuk mengamankan kapal.
Diketahui, kapal mewah bermasalah milik Pemprov masih terparkir di sisi pelabuhan penyeberangan antar pulau di Kota Kendari. Yacht dengan dominasi warna putih-hitam itu, kini dalam penegahan (penahanan) pihak Bea Cukai Kendari.