Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Panas Bumi. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Eniya Listiani Dewi mengatakan perubahan ini bertujuan untuk mempercepat pengembangan energi panas bumi di Indonesia yang dinilai masih belum optimal.
Ia mengatakan, salah satu pembaruan utama dalam aturan ini adalah rencana pelaksanaan lelang wilayah kerja panas bumi secara digital. “Kami akan memasifkan lelang online. Jadi semua bisa akses, semua bisa melihat datanya, bisa melakukan upload dokumen lelang dan seterusnya seperti biasa secara online. Ini akan memudahkan kita semua,” kata Eniya dikutip dari siaran langsung kanal YouTube Dirjen EBTKE, Kamis, 3 Juli 2025.
Menurut Eniya, sistem lelang online akan memudahkan para investor untuk mengakses data dan mengunggah dokumen secara daring. Dengan digitalisasi proses lelang, ia melanjutkan, pemerintah berharap dapat menciptakan sistem yang lebih terbuka dan efisien.
Tak hanya soal lelang, Eniya menjelaskan, revisi aturan ini juga akan mencakup penyesuaian insentif fiskal dan non-fiskal. Kementerian ESDM, kata dia, kini tengah menjalin komunikasi dengan Kementerian Keuangan guna membahas kemungkinan insentif pajak dan dukungan lainnya.
Ia mengatakan rencana pemberian insentif ini melibatkan Universitas Gadjah Mada melalui kajian ihwal tingkat pengembalian investasi (IRR). “Kajian ini akan digunakan sebagai rujukan dalam perumusan insentif,” ujarnya.
Selain itu, kata Eniya, pemerintah berencana mewajibkan PT PLN (Persero) membeli listrik hasil lelang maupun proyek yang ditugaskan kepada BUMN. Skema penugasan ini akan disesuaikan dengan keberadaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN yang memengaruhi koordinasi antar lembaga seperti Danantara, Kementerian BUMN, dan Kementerian ESDM.
Pembaruan aturan juga akan mencakup sejumlah aspek teknis dan strategis lainnya, seperti prioritas dispatch untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), pengaturan ulang masa eksplorasi berbasis kriteria, penghitungan nilai ekonomi karbon, pengelolaan mineral ikutan, penanganan isu sosial, perizinan panas bumi, dan jaminan pemulihan lingkungan pasca tambang.
Indonesia menyimpan cadangan panas bumi yang cukup besar, yakni sekitar 40 persen dari total potensi global atau setara 23.765,5 megawatt (MW). Namun, pemanfaatan energi ini baru mencapai sekitar 11 persen dari total potensinya.
Sejak 2014, kapasitas terpasang panas bumi hanya bertambah sekitar 1,2 gigawatt (GW), sehingga kini total kapasitasnya berada di angka 2,6 GW. Beberapa PLTP yang sudah beroperasi antara lain berada di Kamojang, Muara Laboh, Salak, Darajat, Ulubelu, Dieng, dan Sorik Marapi.
Menurut Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Julfi Hadi, lambatnya perkembangan sektor ini disebabkan oleh model bisnis yang sudah tidak relevan. Ia mendorong perubahan pendekatan yang lebih progresif, terintegrasi, dan berorientasi pada penciptaan nilai tambah. Ia juga menyebut pentingnya staged development untuk mengurangi risiko eksplorasi dan mempercepat operasional proyek.
Julfi juga mendorong adopsi teknologi baru seperti modular power plant, co-generation, dan electrical submersible pumps yang dinilai dapat meningkatkan efisiensi dan mempercepat Commercial Operation Date (COD). Tak kalah penting, menurutnya, adalah penyusunan skema insentif yang menarik bagi investor untuk menekan biaya modal (capex) dan operasional (opex).
Di sisi infrastruktur, Julfi menekankan pentingnya pembangunan jaringan transmisi berskala besar atau supergrid. Transmisi ini akan menjadi fondasi bagi pemanfaatan panas bumi sebagai penggerak utama transisi energi dan ketahanan energi nasional. “Jika infrastruktur ini terealisasi, ia yakin panas bumi bisa menjadi pilar utama energi bersih di Indonesia,” kata Julfi.