Cerita WNI di Tengah Krisis Beras di Jepang: Harga Naik Dua Kali Lipat

coba di sini HTML nya

Beras sudah lama menjadi bagian penting dari budaya, tradisi, dan politik Jepang.

Selama bertahun-tahun, pemerintah Jepang memberikan insentif kepada petani untuk mengurangi lahan tanam padi dan beralih ke tanaman lain. Kebijakan ini dibuat demi menjaga agar pasokan beras tidak berlebihan, sehingga harga tetap stabil. Saat itu, konsumsi beras memang terus menurun dan Jepang sempat mengalami kelebihan stok.

Namun, situasinya berubah drastis sejak musim panas tahun lalu. Jepang krisis beras.

Cuaca ekstrem menyebabkan hasil panen merosot, sementara permintaan tetap tinggi, terutama dari sektor makanan dan pariwisata yang mulai pulih pasca-pandemi COVID-19. Akibatnya, pasokan beras kini justru tidak mencukupi kebutuhan dan kebijakan pembatasan lahan yang dulunya dianggap efektif malah menjadi bumerang. Harga beras pun melonjak, dan masyarakat mulai kesulitan mendapatkan beras di pasaran.

Lalu, bagaimana kabar Warga Negara Indonesia (WNI) yang tinggal di Jepang di tengah krisis beras ini?

“Sebetulnya kenaikan harga beras sudah dimulai dari tahun lalu, sedangkan untuk kelangkaan beras juga puncaknya terjadi sekitar Agustus 2024. Sempat terjadi kekosongan stok beras di supermarket-supermarket sekitar tempat tinggal saya dan teman-teman saya,” demikian penuturan WNI bernama Cahaya kepada.

Perempuan yang akrab disapa Aya ini tinggal di Kyoto.

“Saya tidak terlalu kesulitan (beli beras) karena kebetulan saat terjadi kelangkaan masih punya stok dan biasanya membeli lewat online shop. Tapi, ketika terjadi kelangkaan ini, saya sempat cek online shop yang biasa saya gunakan dan saat itu stok di online shop pun juga tidak ada. Semuanya kosong dan hanya menerima pre-order,” kisah Aya.

WNI lainnya, Dina Faoziah, yang tinggal di Tokyo, “Stok aman, sekarang mudah dibeli. Menurut catatan pembelian saya, saya terakhir membeli online bulan Agustus 2024. Waktu itu stok beras langka, orang-orang memborong. Biasanya saya beli langsung di toko, tapi karena kosong terpaksa beli online.”

“Beras di daerah saya mengalami kenaikan yang sangat signifikan. Sebelum terjadi krisis beras, untuk beras 5 kg harganya berkisar 2000-an yen. Beras murah bisa di bawah 2000 yen, sedangkan 3000-an yen itu sudah dapat beras premium. Kelangkaan beras gelombang pertama di musim panas 2024, harga beras 5 kg naik jadi rata-rata 3000 yen. Paling murah pun pasti di harga sekitar 2000-2500 yen. Sekarang harga beras sudah semakin parah karena 5 kg itu rata-rata 5000-an yen. Ini berarti sekarang harga 1 kg beras sekitar 1000-an yen dan kenaikan sudah lebih dari dua kali lipat (sebelum krisis sekitar 2000-an yen/5kg, setelah krisis 5000-an/5 kg),” tutur Aya.

“Kadang-kadang jika beruntung, bisa dapat beras murah dengan harga di sekitar 4000-an yen, tapi toko yang menjual dengan harga ini pun stoknya bisa dipastikan sangat terbatas. Tolong dicatat ini harga beras yang merupakan beras produksi Jepang ya.”

Ketika wawancara ini dilakukan, sebut Aya, pemerintah Jepang sudah mulai melakukan impor beras jenis Calrose dari Amerika Serikat. Beras Calrose ini harganya bisa di bawah 4000 yen/5 kg atau sekitar 3000-an yen.

“Masalahnya, penduduk Jepang banyak yang tidak mau mengonsumsi beras Calrose ini. Seingat saya, tahun lalu Jepang sudah pernah coba menjual beras impor, tapi tidak laku. Untuk mengakali hal ini, akhirnya pemerintah Jepang mengoplos beras lokal dengan beras Calrose impor baru kemudian dijual,” ujar Aya, yang mengaku sedari awal sering menggilir makanan pokoknya, termasuk dengan roti, mie, kentang, dan lain sebagainya.

Dina melontarkan pernyataan senada.

“Dulu waktu beli online bulan Agustus 2024 harganya sudah sedikit naik. Waktu itu borong cukup banyak karena kekhawatiran kelangkaan stok. Tapi, setelah itu membeli biasa saja ketika hampir habis. Memang nggak nyangka sih kalau kenaikannya dua kali lipat,” cerita Dina.

Ditanya terkait kebijakan pemerintah dalam menangani krisis beras ini, Aya menjelaskan, “Ada dua kebijakan yang saya tahu dan rasakan. Yang pertama adalah kebijakan mengimpor beras Calrose dari pemerintah pusat seperti yang saya jelaskan sebelumnya.”

“Yang satu lagi ini saya tidak tahu apakah di daerah lain juga sama, tapi Pemerintah Kota Kyoto memberikan BLT khusus bernama ‘Kyoto City Living Support Grant’ untuk warganya pada Februari. BLT yang diberikan adalah sejumlah 30.000 yen per kepala keluarga (KK). Jika di KK yang terdaftar ada anak maka akan diberi dana tambahan per kepala anak, tapi saya kurang tahu per anak dapat berapa karena saya tidak punya anak.”

 

Sementara itu, Dina mengungkapkan, “Saya baca Pemerintah Osaka membagikan kupon beras gratis ke warganya, dengan kriteria dibagikan kepada anak berusia 18 tahun ke bawah dan ibu hamil. Pembagian kupon beras gratis di Osaka akan berlangsung yang keempat kalinya bulan Juni mendatang. Sebelumnya kupon yang dibagi 5000 yen/orang, sudah berlangsung tiga kali, dan nanti direncanakan 7000 yen/orang.”

Baik Aya maupun Dina mengakui bahwa pemberitaan terkait krisis beras di media lokal masih masif.

“Masih (masif). Apalagi menteri pertanian baru saja turun karena membuat komen yang menyinggung dan membuat marah semua orang terkait masalah krisis beras ini. Taku Eto blunder dengan mengatakan ‘Saya tidak pernah beli beras. Pendukung saya memberikan banyak beras kepada saya. Ada banyak beras di rumah saya sampai bisa dijual’. Malah jadinya seperti pengakuan gratifikasi,” tutur Aya.

Data pemerintah yang dirilis pada Jumat (23/5) menunjukkan harga beras melonjak 98,4 persen (YoY) pada April, setelah sebelumnya tercatat naik 92,5 persen (YoY) pada Maret.

Lonjakan harga ini tidak hanya semakin memberatkan kondisi ekonomi konsumen di Jepang, namun turut menurunkan popularitas Perdana Menteri Shigeru Ishiba beserta Partai Demokrat Liberal yang dipimpinnya.

Upaya darurat yang telah dilakukan, seperti memanfaatkan cadangan beras milik pemerintah, sejauh ini belum berhasil menurunkan harga.

“Kami tidak tahu mengapa kami belum bisa menekan harga turun,” ujar Ishiba dalam sesi tanya jawab di parlemen Jepang pekan ini. “Kami akan terlebih dahulu mencari tahu dengan pasti berapa banyak stok beras yang ada dan di mana keberadaannya.”

Tim Harcourt, kepala ekonom di Institute for Public Policy and Governance di University of Technology Sydney (UTS), menjelaskan kepada Al Jazeera bahwa terdapat beberapa faktor yang terus memberikan tekanan kenaikan pada harga beras.

“Salah satunya adalah panic buying akibat rumor tentang gempa besar,” kata dia, merujuk pada rumor yang beredar di internet. “Yang kedua adalah kekurangan gandum akibat perang Rusia-Ukraina yang membuat orang beralih dari gandum ke beras. Dan yang ketiga adalah bangkitnya pariwisata ke Jepang dan sektor perhotelan yang sedang booming, sehingga permintaan terhadap beras meningkat.”

Kelangkaan dikaitkan pula dengan musim panas yang sangat panas pada 2023, yang menyebabkan hasil panen yang buruk bagi para petani Jepang.

Apabila tidak segera ditangani, krisis beras diyakini berpotensi memperburuk prospek politik pemerintahan minoritas Ishiba, terutama ketika rakyat Jepang dijadwalkan kembali ke tempat pemungutan suara pada akhir tahun ini untuk mengikuti pemilu parlemen.

“Beras adalah makanan pokok yang penting dalam kehidupan masyarakat Jepang. Karena itulah, ketika terjadi krisis yang memengaruhi ketersediaan atau harga beras, dampaknya tidak hanya ekonomi, tapi juga bisa mengguncang stabilitas politik,” ungkap Harcourt.

Sebuah jajak pendapat terbaru yang dilakukan media Jepang menunjukkan bahwa tingkat kepuasan terhadap kabinet Ishiba merosot menjadi 27,4 persen bulan ini, turun 5 persen dari April.