Serangan Amerika Serikat (AS) ke tiga fasilitas nuklir Iran pada Minggu (22/6/2025), menandai eskalasi tajam dalam konflik segitiga antara Iran, Israel, dan AS yang selama ini terpendam di balik diplomasi tumpul dan operasi militer berskala terbatas.
Peristiwa ini mencerminkan bergesernya norma dalam menyelesaikan konflik antarnegara: dari meja perundingan kembali ke logika kekuatan senjata. Pada saat yang sama, risiko penutupan Selat Hormuz membayangi ekonomi global yang tengah rapuh, dengan harga energi yang bisa melonjak drastis dan mengancam stabilitas fiskal negara-negara berkembang.
Melihat kompleksitas situasi ini, para pengamat mencoba membaca arah perkembangan konflik, baik dari sisi dinamika kekuatan politik regional maupun implikasi serius terhadap stabilitas ekonomi dunia. Berikut pandangan mereka:
“Saya rasa negara-negara lain baik di kawasan Timur Tengah ataupun major powers yang berada di luar kawasan cenderung mendorong de-eskalasi sesegera mungkin. Tidak ada negara yang ingin peperangan ini berlarut-larut, selain mungkin Israel dan Iran sendiri. Seperti yang kita ketahui, axis of resistance yang selama ini menjadi sekutu Iran di kawasan semakin lemah karena rentetan serangan yang dilakukan oleh Israel. Sebut saja Hizbullah di Lebanon dan Hamas di Gaza yang masih terlibat peperangan dengan Israel. Mungkin tinggal Houthi di Yaman yang masih memiliki cukup kekuatan. Namun, mereka cenderung tidak mampu mengungguli kekuatan militer Israel dan AS,” demikian disampaikan Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada Irfan Ardhani “Di sisi lain, banyak negara-negara Arab yang memiliki kedekatan strategis dengan AS dan cenderung tidak sejalan dengan Iran. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin serangan yang dilakukan oleh AS tersebut sesuai dengan kepentingan mereka. Yang menjadi pertanyaan, apa langkah retaliasi yang disiapkan oleh Iran terhadap AS? Apakah mereka akan benar-benar menutup Selat Hormuz? Jika hal ini terjadi maka akan makin banyak negara yang terdampak secara langsung oleh eskalasi tersebut karena harga minyak dunia akan meningkat secara drastis maka makin banyak yang berkepentingan menyelesaikan konflik baik secara damai maupun tidak.”
Jika Iran menutup Selat Hormuz, ungkap Irfan, selalu ada kemungkinan bagi Presiden Donald Trump untuk memerintahkan serangan kembali.
“Ini adalah bentuk penyelesaian sengketa dalam ‘position of strength’ yang selalu diidam-idamkan olehnya. Sementara itu, bernegosiasi justru membuat Iran merasa di atas angin. Jika Iran tidak menutup Selat Hormuz, mereka mungkin sedang berusaha mencari solusi di atas meja perundingan sembari menjaga martabat agar tidak semakin kehilangan muka,” terang Irfan.
Arti dari serangan AS, sebut Irfan, adalah episode berulang terhadap pelanggaran hukum internasional.
“Hukum internasional yang selama ini diharapkan membatasi tindakan negara terbukti tidak efektif,” kata Irfan, yang meyakini bahwa Rusia dan China cenderung mendorong de-eskalasi sembari mengutuk serangan AS.
Penasihat Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES) Smith Alhadar menduga serangan balasan Iran akan menargetkan pangkalan-pangkalan militer AS di Timur Tengah.
“Sepanjang negara Arab tidak mengizinkan wilayahnya digunakan AS (untuk menyerang Iran), perang regional bisa dikendalikan,” sebut Smith kepada Liputan6.com saat ditanya mengenai potensi meluasnya konflik pasca Amerika serang Iran.
Ada dua fenomena yang diyakini Smith membuat eskalasi Iran versus AS dan Israel tidak berkepanjangan.
“Di luar dugaan Israel dan AS, ternyata rudal-rudal Iran mampu menembus sistem pertahanan berlapis Israel. Hal ini merepotkan Israel. Sementara Trump dikecam sebagian anggota Kongres karena menyerang negara lain tanpa persetujuan kongres. Melihat dua fenomena ini, terbuka kemungkinan perang tidak berkepanjangan karena terlalu mahal bagi Israel dan AS. Iran juga pasti tidak menghendaki perang berlarut-larut yang menguras sumber dayanya. Tapi harus dicari exit strategy yang bisa menghentikan perang dengan menyelamatkan muka semua pihak yang terlibat,” ujar Smith, yang mengakui bahwa program nuklir Iran menjadi tantangan utama di meja perundingan.
Ditanyakan bagaimana posisi Arab Saudi, Turki, Rusia, dan China dalam eskalasi ini, Smith menilai, “Mereka akan menahan diri, bahkan akan melakukan de-eskalasi. Tapi kalau perang berkepanjangan, langsung atau tidak langsung, semua negara di atas akan terseret ke dalamnya untuk menyelamatkan kepentingan nasional masing-masing. Rusia dan China, khususnya, tak mau ada perubahan rezim di Iran, terutama munculnya rezim baru yang pro-Barat.”
Senada dengan Smith, Pengamat Hubungan Internasional Teuku Rezasyah meyakini bahwa serangan balasan Iran atas AS akan menargetkan pangkalan militer AS di beberapa negara di Timur Tengah.
“Terutama sekali negara yang kemarin menyukseskan penyerangan AS atas instalasi nuklir Iran,” kata RezasyahRezasyah menuturkan bahwa konflik berpotensi meluas karena Trump tidak memerintahkan Israel mengakhiri kekerasan yang dimulainya terhadap Iran.
“Keadaan ini cenderung memaksakan Iran mempertahankan diri dengan terus menyerang Israel… Saat ini AS dan Israel sangat tersudut. Karena mereka terbukti menjadi penyebab dari krisis Internasional yang berpotensi menjadi Perang Dunia III,” ungkap Rezasyah.
Adapun negara kekuatan besar lainnya diperkirakan Rezasyah masih menahan diri untuk tidak terlibat.
“Mereka akan turun guna mencegah, jika perang berpotensi menggunakan senjata nuklir,” beber Rezasyah.
Iran menjanjikan balasan atas serangan AS terhadap tiga fasilitas nuklirnya, sembari meluncurkan gelombang baru rudal dan drone ke arah Israel.
Kepala Staf Angkatan Bersenjata Iran Abdolrahim Mousavi pada Senin pagi mengatakan bahwa AS telah melanggar kedaulatan Iran ketika menyerang situs nuklir di Fordow, Natanz, dan Isfahan, serta telah memasuki perang secara jelas dan langsung.
“AS yang kriminal harus tahu bahwa, selain memberi hukuman kepada sekutunya yang ilegal dan agresif, para pejuang Islam dalam angkatan bersenjata kini memiliki kebebasan penuh untuk mengambil tindakan terhadap kepentingan dan militer AS. Kami tidak akan pernah mundur dalam hal ini,” ujarnya, merujuk pada Israel.
Ebrahim Zolfaghari, yang bertindak sebagai juru bicara serangan balasan Iran terhadap Israel, dalam pernyataan televisi terbarunya pada Senin mengatakan bahwa serangan AS dimaksudkan untuk menghidupkan kembali rezim Zionis yang sekarat, namun justru akan memperluas cakupan target sah yang beragam bagi Angkatan Bersenjata Iran, serta menciptakan dasar bagi meluasnya perang di kawasan.
“Trump si penjudi, Anda mungkin memulai perang ini, tapi kami yang akan menyelesaikannya,” ujar Zolfaghari seperti dilansir Al Jazeera.
Lantas, bagaimana reaksi dunia merespons serangan Amerika ke Iran?
Perdana Menteri Inggris Keir Starmer seperti dikutip dari AP memperingatkan akan potensi eskalasi yang melampaui kawasan Timur Tengah seraya menyerukan semua pihak untuk berunding demi mengakhiri krisis melalui jalur diplomatik. Dia menekankan bahwa stabilitas merupakan prioritas utama di kawasan yang penuh gejolak ini.
Inggris, bersama Uni Eropa, Prancis, dan Jerman, telah berupaya, namun gagal menengahi solusi diplomatik dalam perundingan di Jenewa pekan lalu dengan Iran.
Starmer menyatakan bahwa program nuklir Iran merupakan ancaman serius bagi keamanan global.
“Iran tidak boleh dibiarkan mengembangkan senjata nuklir dan AS telah mengambil tindakan untuk meredakan ancaman itu,” kata Starmer.
Kementerian Luar Negeri Rusia mengutuk keras serangan udara AS terhadap Iran dan menyebutnya sebagai pelanggaran berat terhadap hukum internasional, Piagam PBB, dan resolusi Dewan Keamanan PBB.
Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sissi memperingatkan adanya konsekuensi serius apabila konflik di Timur Tengah semakin meluas. Dia mendesak agar semua pihak kembali ke meja perundingan.
Arab Saudi menyatakan keprihatinan mendalam atas serangan AS, namun tidak secara eksplisit mengecamnya.
“Kerajaan menegaskan perlunya mengerahkan segala upaya untuk menahan diri, meredakan ketegangan, dan menghindari eskalasi lebih lanjut,” demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Saudi.
Qatar, yang menjadi tuan rumah pangkalan militer terbesar AS di Timur Tengah, menyatakan bahwa pihaknya menyesalkan meningkatnya ketegangan dalam perang Iran-Israel.
Dalam pernyataan resminya, Kementerian Luar Negeri Qatar mendesak semua pihak untuk menahan diri dan menghindari eskalasi, yang tak lagi mampu ditanggung oleh rakyat kawasan ini yang telah lama terbebani oleh konflik dan dampak kemanusiaannya yang tragis.
Qatar merupakan mediator kunci dalam perang Israel-Hamas.
Wakil Perdana Menteri Irlandia Simon Harris menyebut serangan AS sebagai eskalasi yang luar biasa berbahaya dari konflik yang bahkan sebelumnya sudah layak disebut seperti tumpukan jerami kering siap terbakar.
Irlandia, yang selama ini sangat vokal mengkritik perang Israel di Gaza, menyerukan seperti negara-negara Eropa lainnya agar dilakukan perundingan guna mencegah Iran memperoleh senjata nuklir.
“Kita sekarang memasuki masa yang sangat berbahaya,” kata Harris. “Kemungkinan eskalasi berantai kini lebih besar dari sebelumnya dan ada prospek nyata bahwa komunitas internasional akan kehilangan kendali sepenuhnya atas konflik yang sangat, sangat mudah meledak ini.”
Menteri Luar Negeri Australia Penny Wong menyatakan bahwa pemerintahnya mendukung serangan AS.
“Kami mendukung tindakan untuk mencegah Iran memperoleh senjata nuklir dan itulah inti dari tindakan ini,” ujarnya dalam wawancara dengan Channel Nine News pada Senin. Pernyataan ini lebih tegas dibandingkan dengan pernyataan resmi pemerintah Australia pada Minggu, yang sebelumnya tidak secara eksplisit menyatakan dukungan.
“Pada akhirnya, kami ingin melihat adanya de-eskalasi dan diplomasi.”
Wong menolak menjawab apakah komunikasi satelit atau intelijen sinyal Australia digunakan oleh AS. Kedua negara tergabung dalam kemitraan intelijen Five Eyes. Namun, Wong menegaskan bahwa Amerika Serikat telah menyatakan secara jelas bahwa ini adalah serangan sepihak.
Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba mengatakan kepada wartawan bahwa sangat penting untuk meredakan situasi sesegera mungkin, seraya menambahkan bahwa pengembangan senjata nuklir oleh Iran juga harus dicegah. Dia menolak memberikan komentar apakah mendukung serangan AS terhadap Iran.
Vietnam menyerukan agar semua pihak melanjutkan upaya perundingan dan menghormati hukum humaniter serta regulasi Badan Energi Atom Internasional (IAEA).
“Vietnam sangat prihatin dengan eskalasi dan kompleksitas konflik di Timur Tengah, yang menimbulkan ancaman serius terhadap kehidupan dan keselamatan warga sipil, serta perdamaian dan stabilitas regional dan global,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Vietnam Pham Thu Hang.
Paus Leo XIV menyampaikan seruan kuat untuk perdamaian dalam doa Angelus pada Minggu di Lapangan Santo Petrus, menyerukan agar diplomasi internasional membungkam senjata.
Dalam referensi terbuka terhadap situasi di Iran yang disebutnya mengkhawatirkan, Paus Leo XIV yang berasal dari AS menekankan, “Hari ini, lebih dari sebelumnya, umat manusia menangis dan menyerukan perdamaian—ini adalah seruan yang menuntut akal sehat dan tidak boleh dibungkam.”
Paus Leo XIV mendesak setiap anggota komunitas internasional untuk memikul tanggung jawab moral mereka guna menghentikan tragedi perang sebelum berubah menjadi kehancuran yang tak bisa diperbaiki lagi.
Merespons tuduhan Barat soal ambisinya memiliki senjata nuklir, Iran hingga hari ini konsisten bahwa program nuklirnya sepenuhnya bersifat damai.
Direktur Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) Rafael Grossi pada 9 Juni menyatakan bahwa meskipun tindakan Iran tidak secara teknis melanggar aturan internasional, namun level pengayaan uranium yang sangat tinggi — yang dilakukan satu-satunya oleh Iran sebagai negara non-pemilik senjata nuklir — menimbulkan kekhawatiran serius karena bisa membuka jalan bagi kemampuan membuat bom nuklir.