Dua pasien penyakit kronis, Raissa Fatikha dan Deanda Dewindaru meminta agar pasien penyakit kronis digolongkan sebagai penyandang disabilitas.
Pada Rabu, 13 Agustus 2025, keduanya telah mengajukan permohonan pengujian Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sidang lanjutan pengujian pasal tersebut kembali digelar di MK pada Selasa, 26 Agustus 2025.
Agenda sidang Perkara Nomor 130/PUU-XXIII/2025 yakni pemeriksaan perbaikan permohonan. Para Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena tidak adanya pengakuan eksplisit penyakit kronis sebagai bagian dari ragam disabilitas.
Dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat, para pemohon yang diwakili oleh kuasa hukumnya, Nur Fauzi Ramadhan mengatakan telah mengubah batu uji.
“Batu uji yang kami ujikan yaitu dalam Pasal 28C ayat (2), 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2). Kemarin kan ada Pasal 27 ayat (1), kami tinggalkan,” ujarnya mengutip laman MK.
Para Pemohon juga mengubah beberapa posita dan petitum. Dalam posita pada bagian a, Fauzi melanjutkan, para pemohon mengubah yang diujikan penjelasan dari Pasal 4 ayat (1) UU Penyandang Disabilitas.
“Penjelasan pasal tersebut sebagaimana kita ketahui bahwa UU Disabilitas lahir dari adanya ratifikasi, konvensi hak-hak penyandang disabilitas di tahun 2011,” katanya.
Konvensi hak-hak penyandang disabilitas itu sendiri merupakan suatu konvensi yang bersifat terus berkembang. Artinya, tidak membatasi apa saja yang dapat dikatakan disabilitas untuk memberikan kesempatan pada keadaan tertentu, situasi tertentu atau hambatan tertentu yang dapat dikatakan disabilitas.
Sebelumnya, Raissa Fatikha dan Deanda Dewindaru mengajukan permohonan pengujian Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Permohonan perkara ini terdaftar di Kepaniteraan MK dengan Nomor 130/PUU-XXIII/2025. Para Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena tidak adanya pengakuan eksplisit penyakit kronis sebagai bagian dari ragam disabilitas.
Raissa Fatikha adalah penyintas Thoracic Outlet Syndrome (TOS) selama 10 tahun. Ia mengalami nyeri berkelanjutan di tangan, pundak, dan dada kanan atas dengan intensitas yang berfluktuasi. Kondisi ini membatasi fungsi gerak, stamina, dan mobilitas, terutama saat flare-up (kambuh). Meski demikian, ia tetap aktif mengedukasi publik melalui platform Ragam Wajah Lara.
Sementara, Deanda Dewindaru merupakan penyintas penyakit autoimun Guillain-Barré Syndrome, Sjögren’s Disease, dan Inflammatory Bowel Disease selama tiga tahun terakhir.
Deanda mengalami kelelahan kronis dan flare-up yang membatasi stamina serta fungsi gerak. Ia aktif memberikan edukasi melalui platform Spoonie Story.
Dalam sidang pendahuluan yang digelar MK pada Rabu (13/8/2025), kuasa hukum para Pemohon, Reza, menyatakan bahwa ketiadaan pengakuan eksplisit ini menghambat sosialisasi dan advokasi hak-hak bagi orang dengan penyakit kronis.
“Ketika melakukan sosialisasi mengenai layanan publik, para Pemohon harus menjelaskan kondisi mereka secara rinci. Jika penyakit kronis diakui sebagai ragam disabilitas, proses ini akan lebih mudah dipahami pemangku kebijakan dan memastikan hak mereka terpenuhi,” ujarnya di hadapan panel hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat, didampingi Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Enny Nurbaningsih.
Para Pemohon menegaskan, kerugian yang mereka alami bersifat nyata dan faktual, khususnya dalam mengakses layanan publik yang menjadi hak istimewa penyandang disabilitas. Mereka meminta MK untuk memasukkan penyakit kronis sebagai salah satu ragam penyandang disabilitas dalam UU Penyandang Disabilitas.