Cacingan masih mejadi masalah serius pada anak-anak di Indonesia, meski masih dianggap sepele oleh banyak orang. infeksi cacing ini diidentifikasikan seagai penyakit daerah tropis yang sering diabaikan atau Neglected Tropical Diseases oleh World Health Organization (WHO).
WHO mencatat, kasus cacingan di dunia berada di angka lebih dari satu setengah miliar, dan anak-anak merupakan kelompok yang paling banyak terjangkit penyakit infeksi parasit ini.
Kasus infeksi cacing yang dialami oleh R (4) bocah asal Sukabumi pun membuka kesadaran banyak orang terkait seberapa parah kondisi ini dapat terjadi.
“Sebetulnya kejadiannya ada, kejadiannya banyak, tapi fokus pendanaan bukan hanya di Indonesia, di dunia (juga) tidak besar. Tida ada suatu riset penelitian yang masif,” kata Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Infeksi Penyakit Tropis IDAI, dokter Riyadi dalam webinar pada Jumat, 22 Agustus 2025.
Menurut Riyadi, kesadaran pemerintah untuk mengatasi cacingan ini telah mulai terbentuk sejak 2017, sejak diluncurkannya peraturan Menteri Kesehatan untuk mengantisipasi infeksi cacing ini. Program tersebut mengacu pada program WHO sejak tahun 2010.
Program yang digencarkan pemerintah untuk mencegah kasus cacingan adalah pemberian obat pencegahan massal cacingan (POPM).
Dari rentang tahun 2017 hingga tahun 2021, terdapat sebanyak 36,97 juta anak mendapatkan POPM. Hasil evaluasi program selama empat tahun tersebut menunjukkan bahwa sebanyak 66 kabupaten atau kota memiliki prevalensi cacingan di bawah lima persen. Sementara 26 kabupaten atau kota lainnya memiliki prevalensi di atas 10 persen.
Riyadi menyebut, pemeriksaan kasus cacingan kadang kurang tepat, sehingga hasilnya banyak yang meleset.
“Yang jadi masalah adalah untuk menegakkannya. Untuk kecacingan in perlu dilakukan pemeriksaan buang air besar. Nah, pemeriksaan ini harus tepat dilakukannya,” ujarnya.
Riyadi menambahkan, program pencagahan pada tahun 2017 telah diperkuat pada tahun 2019, dengan munculnya surat edaran terkait daerah-daerah dengan angka stunting yang tinggi.
“Jadi sebetulnya sudah ada pemahaman dan awareness dari pemerintah kita bahwa kalau suatu wilayah memiliki angka anak-anak stunting yang tinggi, maka salah satu intervensi yang harus dilakukan selain pemberian nutrisi yang baik adalah kita harus waspada terhadap penyakit kronis yang bisa menyebbakan gangguan pertumbuhan, salah satunya kecacingan,” jelas Riyadi.
Hasil dari intervensi tersebut, Riyadi menjelaskan program penanggulan cacingan tersebut yaitu pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) pada penduduk sasaran usia 1-12 tahun yang dilaksanakan selama 2 kali dalam setahun dengan jarak 6 bulan.
Ia menjelaskan, pemberian obat masal ini dilakukan dengan dibagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu prevalensi lebih dari 50 persen, prevalensi 20 hingga 40 persen, dan prevalensi di bawah 20 persen.
“Apabila angka kejadiannya lebih dari 50 persen kita berikan 2 kali, kecuali di daerah tersebut sudah mendapatkan pecegahan untuk filariasis, jadi cukup ekstra 1 kali,” sebutnya.
Daerah dengan prevalensi sebanyak 20 hingga 50 persen diberi 1 kali dalam setahun, dan prevalensi di bawah 20 persen pengobatan dilakukan secara selektif.