PT Dirgantara Indonesia (PTDI) terus mengembangkan teknologi taksi terbang dengan sebuah perusahaan start-up dalam negeri yang bergerak di bidang riset dan pengembangan pesawat Vertical Take-Off & Landing (VTOL) elektrik untuk sektor Advanced Air Mobility (AAM) yakni PT Intercrus Aero Indonesia (Intercrus).
Menurut Direktur Utama PTDI Gita Amperiawan, kolaborasi antara PTDI dan Intercrus mencakup pengembangan teknologi, proses sertifikasi, manufaktur, hingga komersialisasi Intercrus SOLA.
“Kemitraan ini menjadi bagian dari strategi jangka panjang PTDI untuk memperkuat kapasitas inovasi industri dirgantara nasional. Kami percaya bahwa AAM dapat menjadi salah satu solusi nyata untuk menjawab tantangan konektivitas di wilayah urban maupun daerah dengan akses terbatas. Di saat yang sama, teknologi ini juga memiliki potensi adaptasi untuk mendukung kebutuhan operasi militer seperti pengiriman logistik ke medan sulit, misi pengintaian, hingga dukungan taktis di area operasi dengan tingkat risiko tinggi,” ungkap Gita dalam keterangannya ditulis Bandung, Kamis (19/6/2025).
Gita mengatakan melalui kemitraan dengan Intercrus, PTDI berperan dalam membentuk arah baru ekosistem mobilitas udara nasional, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pertahanan dan transportasi sipil, tetapi juga dalam mendorong lahirnya solusi teknologi inovatif di sektor kedirgantaraan masa depan.
Lebih dari sekedar produk, Intercrus SOLA yang ditargetkan siap terbang dan melayani Indonesia pada tahun 2028 ini juga menjadi simbol transformasi dan masa depan transportasi udara Indonesia.
“Pada pembukaan Indo Defence 2024 Expo & Forum hari pertama (11/06), PTDI dan Intercrus menghadirkan demonstrasi prototipe sub-skala 1:7 dari Intercrus SOLA, bernama SOLITA. Demo ini memperlihatkan kemampuan dasar manuver dan hovering di hadapan Presiden RI, Prabowo Subianto,” jelas Gita.
Intercrus SOLA merupakan produk inovasi terbaru yang dikembangkan PTDI bersama Intercrus, termasuk sekelompok insinyur muda Indonesia di dalamnya yang memiliki visi besar untuk menciptakan solusi mobilitas udara masa depan yang lebih ramah lingkungan, efisien dan adaptif terhadap berbagai kebutuhan operasional, baik untuk sektor sipil maupun militer.
Dirancang sebagai kendaraan udara elektrik berkonsep VTOL, Intercrus SOLA hadir sebagai taksi udara masa depan yang mampu mengangkut tiga penumpang dan satu pilot.
“Platform ini juga dapat dikembangkan untuk misi militer seperti pengiriman kargo dan dukungan logistik dengan muatan presisi maupun konvensional,” terang Gita.
Dengan kemampuan daya angkut hingga 360 kg dan jarak tempuh mencapai 200 km, serta sistem propulsi elektrik penuh yang rendah kebisingan, Intercrus SOLA dirancang cocok untuk berbagai lingkungan operasi, dari kawasan urban padat hingga daerah terpencil.
Sebagai bagian dari inisiatif green aviation, Intercrus SOLA mencerminkan arah baru PTDI dalam menghadirkan produk berbasis energi bersih dan mendukung pengembangan ekosistem AAM di Indonesia. Rencana Pengembangan Transportasi Udara Pemerintah Indonesia
Dilansir kanal Oto News, Liputan6 pada akhir tahun 2024, pemerintah dalam hal ini Kementerian Perindustrian menilai, pengembangan taksi terbang dan bus terapung di masa depan dapat menjadi solusi masalah konektivitas di Indonesia, khususnya di wilayah kepulauan dan daerah terpencil.
Hal tersebut, dituturkan oleh Wakil Menteri Perindustrian, Faisol Riza saat menerima kunjungan PT Chery Motor Indonesia di Kantor Kemenperin.
Pertemuan ini membahas rencana masuknya transportasi publik canggih industri otomotif asal China tersebut, yakni taksi terbang dan bus terapung.
Kendati demikian, sebelum dua kendaraan canggih tersebut masuk ke Indonesia, Chery Motor mesti bersabar karena pemerintah perlu melakukan kajian mendalam, mengingat belum adanya regulasi terkait yang mengatur mengenai jenis transportasi tersebut sejauh ini.
“Masih perlu kajian mendalam dan penyesuaian dengan regulasi di dalam negeri, terutama Kementerian Pertahanan. Selain itu, karena ini juga menyangkut transportasi publik, maka perlu ada regulasi dari Kementerian Perhubungan,” kata Faisol dilansir Antara, Sabtu (14/12/2024).
Audiensi dengan Chery Motor juga membahas mengenai penjualan kendaraan listrik (electrical vehicle) dan kendaraan hibrida (hybrid) di Indonesia.
Wamen Faisol mendorong industri otomotif turut membantu pemerintah dalam membuat ekosistem kendaraan listrik di Indonesia lebih agresif.
Untuk mendukung tujuan ini, pemerintah telah mendukung melalui sejumlah regulasi dan insentif.
Di antaranya pembebasan bea masuk impor kendaraan listrik, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) yang akan terus diperpanjang hingga akhir tahun depan.
“Tahun ini kami sudah siapkan paket insentif itu, tapi ternyata penggunaan terhadap paket itu belum optimal. Jadi seharusnya utilisasinya itu bisa lebih dari yang kita siapkan, tapi ternyata masih rendah,” ujar Faisol.
Dilansir kanal Bisnis, Liputan6, kendaraan mobilitas perkotaan sky taxi atau taksi terbang yang direncanakan untuk menjadi showcase di Ibu Kota Nusantara (IKN) telah tiba di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Taksi terbang berjenis Optionally Piloted Personal/Passenger Air Vehicle (OPPAV) merupakan kendaraan yang dikembangkan oleh Korea Aerospace Research Institute (KARI) dan Hyundai Motors Company (HMC).
“Barangnya sudah sampai di Balikpapan, minggu depan dibuka kemudian dirakit, setelah dirakit nanti kita akan coba,” kata Kepala Otorita IKN Bambang Susantono pada waktu itu di Samarinda, Rabu (29/5/2024).
Kendaraan uji coba yang dikirimkan dalam beberapa pallet tersebut saat ini sudah disimpan di Pelabuhan Semayang Balikpapan. Sementara baterai untuk kendaraan sudah berada di Jakarta dan direncanakan tiba di Samarinda pada 6 Juni 2024.
Bambang menyampaikan, pembukaan pallet dan inspeksi akan dilakukan oleh Hyundai, Bea Cukai Kalimantan wilayah Timur, serta Otorita IKN di Bandara Aji Pangeran Tumenggung (APT) Pranoto Samarinda pada awal Juni mendatang. Pembukaan tersebut menandakan tahap pengurusan izin impor sementara telah dimulai.
“Temen-temen di Samarinda bisa lihat nanti. Uji coba dulu, kita lihat, uji cobanya bagus atau engga nanti ada evaluasi tentang kinerja, evaluasi teknis. Di situlah saya mengharapkan teman-teman dari civitas akademika lokal juga dilibatkan,” tutur dia.
Ia menambahkan, kesempatan untuk melihat dan mempelajari taksi terbang ini merupakan pengalaman yang berharga. “Enggak banyak loh di dunia ini yang berkesempatan mencoba mobil terbang,” imbuh Bambang.
Deputi Bidang Transformasi Hijau dan Digital Otorita IKN Mohammed Ali Berawi menyatakan, pelaksanaan inspeksi dan uji coba akan dilaksanakan sesuai dengan jadwal.
Uji Coba “Sesuai dengan target jadwal PoC (Proof-of-Concept) dan arahan Kepala Otorita IKN, kegiatan perakitan dan inspeksi akan dimulai pada awal Juni dan dilanjutkan uji coba terbang pada Juli 2024 menjelang perhelatan 17 Agustus di IKN. Kegiatan uji coba akan dilakukan selama sebulan penuh di Bandara APT Pranoto Samarinda dan melalui serangkaian pengujian dan kajian kelayakan,” terangnya.
Setelah uji coba KARI selesai, Hyundai berencana untuk mengembangkan skema bisnis dalam melalui Supernal, perusahaan dari Hyundai Motor Group di Amerika Serikat yang mengembangkan pesawat mobilitas udara perkotaan. Pengembangan tersebut yang nantinya akan dikomersialkan, serta dilanjutkan hingga pengembangan teknologi penerbangan autonomous.
“Kami juga berharap dengan terbentuknya tim teknis antara Hyundai dan PT Dirgantara Indonesia (PTDI) dapat melakukan pengembangan teknologi industri ini secara masif kedepannya,” kata Ali Berawi.
Mengutip kanal Regional, Liputan6, memberitakan Indonesia kini mulai memproduksi mobil terbang pertama bernama Vela α. Vela merupakan industri Advanced Air Mobility (AAM) diluncurkan ke publik pada Singapore Airshow 2024 pada 20-25 Februari 2024.
Menurut asisten manager komunikasi eksternal PT Dirgantara Indonesia (PTDI), Kerry Apriawan, di Singapore Airshow 2024 pada 20-25 Februari 2024, Vela α berada di booth yang sama dengan Indonesian Aerospace di Changi Exhibition Center Hall B G51.
“Vela juga memiliki perjanjian kerja sama dengan satu-satunya perusahaan manufaktur pesawat milik negara di Asia Tenggara untuk menegaskan bahwa posisi dan ambisi Vela sangat serius dalam membangun ekosistem di dunia industri manufaktur penerbangan,” ujar Kerry dalam siaran medianya kepada Liputan6.com, Bandung, Senin, 26 Februari 2024.
Kerry menuturkan PT Vela Prima Nusantara, juga dikenal sebagai Vela, mengkhususkan diri dalam produksi pesawat AAM.
Pesawat Alpha adalah produk andalan perusahaan, dan Vela menangani semua aspek desain, pengembangan, pengujian, sertifikasi, manufaktur, dan MRO.
“Vela merupakan startup yang didirikan pada pertengahan tahun 2020 dengan tujuan merancang, mengembangkan, dan memproduksi Advanced Air Mobility (AAM),” kata Kerry.
Pesawat ini diperkirakan akan mulai beroperasi secara komersial pada akhir tahun 2028, telah dirancang untuk menampung seorang pilot dan empat penumpang tetapi dapat dikonfigurasi hingga enam penumpang, dan mampu menjalankan beberapa misi penerbangan dengan sekali pengisian daya.
Pesawat AAM Vela akan menampilkan dua pilihan tenaga yakni VTOL listrik penuh dan VTOL hibrida, keduanya akan didasarkan pada desain badan pesawat yang sama.
“Pekerjaan rekayasa yang diperlukan untuk mengembangkan pesawat ini terutama dilakukan di Bandung, Indonesia, sementara manajemen mengawasi dari Jakarta, Indonesia,” ungkap Kerry.
Kerry menjelaskan personel utama Vela adalah insinyur yang sangat berpengalaman dengan total pengalaman teknik gabungan lebih dari 600+ tahun.
Mereka menghadirkan keahlian khusus dalam desain pesawat terbang menggunakan teknologi mutakhir, khususnya dalam elektronika daya dan desain struktur komposit.
“Hal ini telah menanamkan rasa percaya diri pada kepemimpinan Vela bahwa mereka akan menjadi pemain tangguh dalam industri yang sedang berkembang ini,” tambah Kerry.
Saat ini, Vela sedang dalam tahap desain awal program, dengan konfigurasi terbaru, Alpha, dalam tahap finalisasi.
Pesawat tersebut rencananya akan disertifikasi oleh Federal Aviation Administration (FAA) dan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (DGCA), dengan target memasuki layanan (EIS) menjelang akhir tahun 2028.
“Vela dapat menawarkan harga yang kompetitif melalui struktur biaya pengembangan yang dikontrol dengan cermat, menjadikannya pilihan yang menarik bagi pelanggan yang mencari nilai uang,” sebut Kerry.
Kerry mengungkapkan Alpha yang dibanderol antara USD 1,5 – 2 juta menghadirkan pilihan menarik bagi calon konsumen.
Dibandingkan helikopter ringan di kelas yang sama, Alpha menghadirkan biaya operasional yang lebih rendah, memberikan solusi yang efisien dan hemat biaya.
“Vela menawarkan fasilitas pembiayaan kepada calon pelanggan, menjadikan proses akuisisi lebih mudah diakses dan nyaman,” tukas Kerry.
Konfigurasi desain lift-and-cruise Vela adalah desain sederhana, aman, dan terbukti yang menawarkan alternatif lebih baik dibandingkan desain tilt-rotor, yang memiliki kompleksitas dan risiko keselamatan lebih tinggi.
Dengan desain Vela, pelanggan dapat menikmati perjalanan yang mulus dan nyaman, bebas dari risiko atau komplikasi yang tidak perlu.
“Vela berupaya membedakan dirinya dari pesaing dengan menawarkan teknologi tercanggih dan fitur unik yang memenuhi kebutuhan spesifik pasar Asia Pasifik,” ucap Kerry.
Dengan fokus memberikan kualitas dan layanan yang unggul, Vela bertujuan untuk menjadikan dirinya sebagai pemimpin dalam industri AAM.
Berbagai kualitas ini, Vela berada di garis depan model bisnis besar yang mengubah masa depan sistem transportasi udara.
“Dengan Vela, pelanggan dapat merasakan kemudahan, kenyamanan, dan keamanan baru dengan harga yang kompetitif,” sebut Kerry.
Visi Vela adalah mengembangkan layanan penumpang udara yang menghubungkan individu di seluruh dunia sambil melestarikan lingkungan.
Misi perusahaannya adalah menjadi penyedia AAM terkemuka di kawasan Asia Pasifik, hal ini sejalan dengan meningkatnya permintaan terhadap pesawat AAM seperti pesawat terbang electric Vertical Take-Off and Landing (eVTOL) dan hybrid Vertical Take-Off and Landing (hVTOL).
“Pesawat-pesawat ini membantu mengatasi masalah kemacetan lalu lintas di wilayah metropolitan, sehingga mengurangi waktu transit dan meningkatkan efisiensi ekonomi,” tutur Kerry.
Selain itu, pengembangan sistem transportasi yang lebih ramah lingkungan telah menjadi faktor pendorong penting bagi pengembangan pesawat AAM secara global.