Kepulauan Raja Ampat, wilayah yang selama ini dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati laut dunia, kini menghadapi ancaman serius akibat aktivitas pertambangan nikel.
Dosen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB University, Meutia Samira Ismet, mengungkap kekhawatirannya terhadap dampak jangka panjang pertambangan terhadap ekosistem laut, khususnya terhadap spesies-spesies laut yang berada dalam status konservasi rentan, seperti paus sperma, kima raksasa, dan pari manta.
“Ketiga spesies ini sangat tergantung pada keseimbangan lingkungan perairan Raja Ampat,” ujar pakar konservasi laut dan mikrobiologi terapan ini melalui keterangan tertulis, Kamis, 19 Juni 2025.
Ia menjelaskan bahwa paus sperma, kima raksasa, dan pari manta memiliki cara makan yang sangat spesifik. Paus sperma diketahui mengonsumsi ikan-ikan pelagis dan kelompok cephalopoda, seperti cumi dan gurita, dalam jumlah yang besar.
Sementara kima raksasa adalah biota filter feeder yang menyaring mikroorganisme planktonik dari perairan, selain bersimbiosis dengan mikroalga fotosintetik untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya. Pari manta, juga diketahui memiliki pola makan yang didominasi oleh plankton dan ikan kecil pelagis, yang semuanya akan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan di habitatnya.
“Diet (pola makan) mereka sangat bergantung pada mikroorganisme planktonik, terutama yang bersifat fotosintetik, yang juga memberi warna khas pada kima raksasa, serta menjadi dasar rantai makanan bagi paus sperma dan pari manta,” ucapnya.
Menurut dia, bila keseimbangan ekosistem terganggu, maka rantai makanan yang menopang kehidupan spesies-spesies ini akan runtuh.
Aktivitas pertambangan nikel di daratan Raja Ampat, kata Meutia, berpotensi menghasilkan limpasan limbah yang mencemari perairan laut. “Limbah ini membawa bahan organik dan residu logam berat yang dapat mengganggu mikroalga simbiotik serta mikroorganisme planktonik lainnya,” katanya.
Ia menambahkan bahwa konsentrasi nikel yang tinggi dapat menjadi toksik bagi mikroalga dan mikroba laut. Penelitian di Teluk Vavouto, Kaledonia Baru, disebutkannya telah menunjukkan bahwa konsentrasi nikel melebihi ambang baku (46 μg/L) dapat membahayakan mikroalga fotosintetik yang memiliki peran vital dalam produktivitas primer dan siklus biogeokimia perairan.
Meutia juga mengatakan bahwa peningkatan logam berat di laut berdampak pada jumlah dan komposisi zooplankton seperti copepoda, makanan utama bagi pari manta dan kelompok ikan pelagis dan cumi yang menjadi mangsa utama paus sperma.
Dampaknya tidak hanya pada rantai makanan, tetapi juga akan berpengaruh terhadap biodiversitas kelompok bentos seperti kima raksasa yang sangat rentan terhadap perubahan kualitas lingkungan. “Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi nikel menurunkan tingkat reproduksi dan pertumbuhan biota bentik,” kata dia.
Hal ini, kata dia, memperburuk kondisi populasi spesies yang sangat bergantung pada plankton dan mikroorganisme lainnya. Tak hanya itu, dampak tidak langsung dari pencemaran akibat tambang nikel juga dinilai sangat signifikan. Penurunan oksigen terlarut (DO), peningkatan kadar karbondioksida atau CO, serta berkurangnya kejernihan air disebut dapat merusak habitat alami berbagai biota laut.
“Akibatnya, struktur ekosistem laut berpotensi berubah drastis dan mengancam keberadaan spesies langka di wilayah tersebut,” katanya.
Meutia menekankan, penilaian risiko yang mendalam sangat dibutuhkan untuk menentukan batas ambang konsentrasi nikel yang aman bagi ekosistem laut. Ia mendorong penerapan pemantauan kualitas air dan pengelolaan limbah tambang yang lebih bertanggung jawab.
Lebih lanjut, dia mengajak agar pemerintah, masyarakat, dan industri bersama-sama merancang kebijakan yang berpihak pada pelestarian lingkungan. “Keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian alam sangat penting agar Raja Ampat tetap menjadi rumah bagi biodiversitas laut dunia,” ucapnya.