Sejumlah tokoh adat di Kabupaten Merauke, Papua Selatan, mengkritik sikap pemerintah Indonesia yang menyatakan tidak ada pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) di wilayah mereka. Menurut mereka, pernyataan tersebut berbanding terbalik dengan berbagai fakta di lapangan yang dirasakan langsung masyarakat.
“Laporan itu semua bohong dan saya salah satu korban yang ada,” kata tokoh dari Suku Marind-Anim, Yasinta Moiwend, dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa, 17 Juni 2025.
Sebelumnya, sembilan pelapor khusus Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mengirimkan surat kepada pemerintah Indonesia perihal dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan lingkungan hidup dalam PSN di Merauke. Mereka juga mengirimkan surat kepada PT Global Papua Abadi (PT GPA) selaku perusahaan yang menggarap lahan food estate di sana, khususnya untuk gula dan bio-etanol.
Kedua surat itu dikirim pada 7 Maret 2025. Kemudian pemerintah Indonesia membalas pada 6 Mei 2025. Namun dalam isi surat itu, pemerintah membantah adanya dugaan pelanggaran lainnya sebagaimana yang dituduhkan, termasuk pelanggaran HAM.
Dalam laporan sembilan pelapor dari PBB, disebutkan bahwa perusahaan PT GPA dan PT Murni Nusantara Mandiri (bagian dari Global Papua Abadi Group), dilaporkan telah diberikan Izin Usaha Perkebunan untuk membersihkan lahan seluas lebih dari 637.420 hektare, yang tumpang tindih dengan wilayah adat.
Proyek sejak 2024 ini diduga merugikan kehidupan masyarakat adat suku Marind-Anim, Yeinan, Maklew, Khimaima, dan Yei. Hak-hak masyarakat adat yang diduga dilanggar termasuk hak atas pangan, air, kesehatan, lingkungan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan, serta hak-hak budaya.
Yasinta Moiwend mengatakan lahannya beserta milik masyarakat lain digusur dengan paksa tanpa adanya dialog terlebih dahulu. Mereka sebagai pemilik lahan di sekitar Kampung Wogikel, Distrik Ilwayab, terkena penggusuran. Masyarakat sudah meminta kejelasan dan melaporkan masalah ini kepada Pemerintah Kabupaten Merauke. “Kami sudah upayakan dari awal, tapi tidak ada jawaban dari pihak perusahaan dan pemerintah,” ujarnya.
Dia pun meminta kepada pihak PBB untuk datang langsung ke wilayah PSN Merauke untuk melakukan pengawasan. Ini sekaligus membantah anggapan pemerintah bahwa tidak ada pelanggaran apa pun dalam proyek food estate.
Tokoh lain dari Suku Marind-Anim, Fransiskus Hubertus, mengatakan perampasan tanah dari masyarakat adat justru menghilangkan mata pencaharian. Masyarakat di tempat tinggalnya juga masih banyak yang berburu dan meramu, serta kehidupan banyak bergantung pada alam.
Ketika proyek food estate datang ke Merauke, lahan adat istiadat yang disakralkan juga turut hilang. “Seluruh atribut adat istiadat menjadi punah. Kami tidak dihargai sebagai warga negara Indonesia,” tuturnya dalam kesempatan yang sama.
Hubertus meminta agar pemerintah memberhentikan aktivitas perusahaan dalam proyek ini. Menurut dia, selama ini lingkungan alam tetap terjaga dan dilestarikan dari generasi ke generasi.
Mengutip dari surat jawaban perwakilan Indonesia, pemerintah menyatakan penyelenggaraan food estate sesuai dengan aturan yang berlaku. Pelaksanaannya disertai dialog, dan salah satunya adalah perusahaan harus mendapatkan pengakuan dari masyarakat adat untuk memperoleh Hak Guna Usaha (HGU).
“Secara paralel, pemerintah telah memulai dialog inklusif dengan masyarakat setempat yang terkena dampak proyek dan mendorong mereka untuk melaporkan segala dugaan intimidasi atau kekerasan, yang didukung oleh data atau bukti yang dapat diverifikasi, agar otoritas terkait dapat menindaklanjutinya dengan investigasi dan tindakan perbaikan yang tepat,” dikutip dari surat tersebut yang ditandatangani Wakil Duta Besar Tetap I Indonesia untuk PBB Achsanul Habib.