Bahasa Jawa di Ambang Kepunahan, Jeritan Hati Diaspora di Kongres Internasional Gunungkidul

coba di sini HTML nya

Di antara derai tawa dan pelukan hangat reuni diaspora, terselip sebuah kekhawatiran mendalam yang tak bisa disembunyikan. Hank Hadikromo, seorang diaspora Jawa berusia 62 tahun asal Suriname yang kini menetap di Belanda, berdiri di hadapan ratusan wajah familiar dan asing di Bangsal Sewokoprojo, Gunungkidul.

Suaranya, meskipun tenang, sarat dengan kegelisahan tentang masa depan bahasa Jawa. Baginya, ancaman kepunahan bahasa ibu ini bukan lagi wacana akademis, melainkan kenyataan pahit yang perlahan terjadi di depan mata.

“saya memperkirakan, jika tidak ada upaya serius dan masif, dalam kurun waktu 50 tahun ke depan, bahasa Jawa akan benar-benar lenyap dari tanah kelahirannya sendiri,” ungkap Hadi.Keresahan Hadi ini bukan sekadar refleksi personal, melainkan suara hati di Kongres Diaspora Jawa Internasional ke-6. Acara penting ini menjadi magnet bagi para keturunan Jawa dari berbagai penjuru dunia.

Cerita Hadikromo adalah cerminan kompleksitas identitas diaspora. Lahir dan tumbuh besar di Suriname dalam keluarga yang sangat menjunjung tinggi adat serta bahasa Jawa, ia merasa akrab dengan akarnya. Namun, di usia 18 tahun, ia hijrah ke Belanda untuk mengejar kehidupan baru.

“Kalau saya tidak tahu budaya Jawa, apakah saya masih bisa disebut orang Jawa?” ujarnya

Ia pun aktif mengikuti berbagai kursus bahasa dan budaya Jawa di komunitas diaspora, membaca literatur sejarah dan budaya, meneliti silsilah keluarga, serta berdiskusi panjang dengan sesama keturunan Jawa di Suriname dan Belanda.

Semua itu ia lakukan demi menjaga warisan leluhurnya agar tidak pupus di tanah perantauan. Namun, di tengah semua usahanya, kekhawatiran justru muncul saat ia menyadari fenomena yang tak bisa ia bending yaitu generasi penerus tak lagi akrab dengan bahasa ibunya.

“Anak-anak saya tidak bisa berbahasa Jawa,” katanya.

Meskipun ia berusaha keras mengajarkan, lingkungan dan sistem pendidikan di Belanda membuat anak-anaknya lebih fasih berbahasa Belanda dan Inggris. Bahasa Jawa pun tergeser, terlupakan, dan perlahan-lahan hilang dari percakapan sehari-hari di rumahnya.

Menurutnya, Kondisi di Indonesia khususnya di Jawa, ternyata tak jauh berbeda, bahkan mungkin lebih ironis. Hadikromo mengamati fenomena serupa ketika mengunjungi tanah leluhurnya. Ia melihat banyak anak muda tak mampu lagi berbicara dalam bahasa Jawa, bahkan tidak memahami maknanya sama sekali.

“Di Jawa sendiri, anak-anak tidak diajarkan lagi bahasa ibunya. Orang tua lebih memilih bahasa Indonesia atau bahkan Inggris. Mereka menganggap bahasa Jawa tidak berguna. Padahal, bahasa itu identitas,” tegas dia.

Hadikromo menilai pola pikir yang menganggap bahasa Jawa tidak berguna ini sangat berbahaya. Ia percaya, ketika suatu masyarakat kehilangan bahasanya, maka hilang pula jiwanya. Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan wadah nilai, sejarah, filosofi hidup, dan cara pandang.

“Kalau tren ini terus berlanjut, 50 tahun lagi akan sangat sulit menemukan orang yang bisa diajak berbicara dalam bahasa Jawa, bahkan di Jawa sekalipun. Ini adalah sebuah peringatan keras bagi semua pihak untuk segera bertindak,” ujarnya.

Di tengah keprihatinan yang disampaikan Hadikromo, Kongres Diaspora Jawa Internasional ke-6 di Gunungkidul hadir sebagai oase harapan. Pemilihan Kabupaten Gunungkidul sebagai tuan rumah kongres kali ini adalah sebuah terobosan dan kebanggaan tersendiri, mengingat selama ini gelaran serupa biasanya hanya dihelat di lingkungan Keraton Yogyakarta.

Bupati Gunungkidul, Endah Subekti Kuntariningsih, menyampaikan rasa bangga dan harapan besar terhadap momentum budaya ini.

“Melalui kongres ini, kita tidak hanya mengenang akar dan identitas kita sebagai bangsa Jawa tetapi juga meneguhkannya sebagai landasan untuk menatap masa depan,” tutur Bupati Endah.

Ia menekankan bahwa kongres ini adalah momentum emas bagi semua pihak untuk saling menguatkan, mempererat jejaring, dan membuka peluang kolaborasi di berbagai bidang—mulai dari budaya, ekonomi kreatif, pendidikan, hingga pariwisata.

Lebih dari sekadar retorika, Pemerintah Kabupaten Gunungkidul menunjukkan komitmen konkret. Bupati menyatakan kesiapannya untuk menindaklanjuti hasil pertemuan ini melalui berbagai bentuk kerja sama, termasuk memperluas jangkauan produk-produk UMKM lokal ke mancanegara melalui jaringan diaspora.

“Saya tugaskan Pak Wakil Bupati untuk menjalin komunikasi lebih lanjut dengan ketua-ketua paguyuban diaspora, agar produk Gunungkidul bisa masuk ke pasar luar negeri lewat jaringan yang telah dibangun oleh Mbak Ine dan komunitas diaspora,” ungkapnya.

Dalam kongres ini, Bupati mengucapkan terima kasih kepada KPH Wironegoro yang menunjuk Kabupaten Gunungkidul menjadi tuan rumah kongres diaspora, yang selama ini hanya diterima di Keraton saja. Hal tersebut menyiratkan bahwa pilihan ini adalah bentuk pengakuan atas keseriusan Pemkab Gunungkidul dalam melestarikan budaya.

“Karena melihat komitmen kami untuk menjaga budaya, jadi kami diuji coba untuk menjadi tuan rumah,” ungkap Endah.

Bupati Endah juga berharap agar kegiatan kongres diaspora ini bisa terus berlanjut dan diadakan di Kabupaten Pemkab Gunungkidul setiap tahunnya. Menurutnya, ini menggambarkan ambisi Gunungkidul untuk menjadi pusat pertemuan budaya Jawa internasional.

“Harapan ini bisa terselenggara setiap tahunnya, apalagi kami kemarin pun sudah ditawari untuk menjadi Sister City Belanda oleh KPH Wironegoro, mudah-mudahan bisa terealisasi,” ujar Bupati.

Di sisi lain, KPH Wironegoro, selaku pendamping diaspora Jawa selama 15 tahun terakhir dan perwakilan dari Keraton Yogyakarta, menyampaikan bahwa kongres ini jauh melampaui sekadar nostalgia. Menurutnya, ini adalah tentang penguatan identitas dan spiritualitas orang Jawa yang berada di luar negeri.

Selama ini, banyak diaspora Jawa datang ke tanah leluhur tanpa mendapatkan tuntunan budaya dan keilmuan yang memadai. Melalui kongres ini, KPH Wironegoro berharap meneguhkan identitas kultural mereka, mengenalkan kembali subosito dan tata krama Jawa.

“Ini bagian dari tanggung jawab kultural kami di Keraton Yogyakarta,” Pungkas KPH Wironegoro.

Tartous2day.news

Tartous2Day News adalah portal berita lokal yang menyediakan informasi terkini tentang kota Tartous dan sekitarnya. Temukan berita, acara, serta ulasan tentang tempat wisata dan kuliner di daerah tersebut.

2025 Anak Bantuan Dedi Mulyadi Depok DPR Emas Gadget GRIB Haji Harga Idul Adha Indonesia Israel Jakarta Jawa Barat Jokowi Kambing Kasus Kebakaran Kejagung Kesehatan Korupsi KPK Kurban Masyarakat Militer Negara Ormas Papua PDIP Pemerintah Pendidikan Polisi Politik Prabowo Presiden Raja Ampat Sapi Siswa Tersangka Tips TNI Umroh Viral