Kementerian Ketenagakerjaan mencatat bahwa terdapat 26.455 pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Data ini diperoleh hingga tanggal 20 Mei 2025 dan menunjukkan angka yang signifikan dalam konteks ketenagakerjaan di Indonesia.
Indah Anggoro Putri, yang menjabat sebagai Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan di Kemnaker, mengungkapkan informasi tersebut. Dia menekankan bahwa data yang disampaikan adalah valid dan merujuk pada Dinas Tenaga Kerja yang ada di masing-masing daerah.
“(Jumlah PHK) 26.455 sampai 20 Mei,” ungkap Indah saat ditemui di Kantor Kemnaker, Jakarta, seperti yang dilaporkan pada Rabu (21/5/2025).
Dia menjelaskan bahwa Jawa Tengah menjadi provinsi dengan jumlah PHK tertinggi, diikuti oleh DKI Jakarta dan Riau. Sektor-sektor yang terdampak mencakup pengolahan, perdagangan besar eceran, serta jasa, yang menunjukkan dampak luas terhadap perekonomian.
“Jawa Tengah 10.695, Jakarta 6.279, Riau 3.570,” tambahnya, memberikan rincian lebih lanjut mengenai angka tersebut.
Indah juga menyatakan bahwa penurunan kinerja industri diduga menjadi salah satu faktor penyebab tingginya angka PHK ini. Mengenai Riau yang mengalami peningkatan angka PHK, dia enggan berspekulasi lebih jauh. “Yang pertama beberapa industri perdagangan juga ada yang turun ya mungkin ya, kita belum meneliti sedalam sih kenapa Riau tinggi (angka PHK-nya),” jelasnya.
Klaim JKP
Seiring banyaknya pekerja yang terkena PHK, hingga April 2025 klaim Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) rata-rata mencapai 13.210 klaim per bulan. Angka ini naik drastis dari periode beberapa tahun sebelumnya. Tercatat di 2022 mencapai 844 klaim, pada tahun 2023 mencapai 4.478 klaim dan di 2024 sebesar 4.816 klaim.
Sedangkan dari Januari hingga April 2025 sebanyak 52.850 orang telah mengklaim JKP
Indah Anggoro menegaskan bahwa informasi mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK) yang ia sampaikan adalah data yang sah dan tidak dapat dimanipulasi. Data tersebut diserahkan oleh Dinas Tenaga Kerja di masing-masing daerah.
“Kita ini kan sekali lagi berdasarkan data dari Dinas Tenaga Kerja, tidak ada data yang kami rekayasa, karena kita kan punya sistem pelaporan dari dinas langsung ke pusat dan ini update terus,” tuturnya.
Dalam kesempatan itu, ia juga mempertanyakan mengenai adanya angka PHK yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan data yang dimiliki oleh Kementerian Ketenagakerjaan.
Menurutnya, “Data Kemnaker adalah data yang valid dari dinas-dinas tenaga kerja, mereka yang sudah inkracht PHK, jadi resmi.”
Ia menekankan pentingnya keabsahan data tersebut dan mengingatkan bahwa jika terdapat angka yang lebih tinggi, ia merasa perlu untuk menanyakan apakah data tersebut sudah disepakati atau belum.
“Jadi kalau ada data yang lebih, malah saya bertanya itu sudah sepakat atau belum? Sudah inkrah atau belum? Sudah kedua belah pihak menerima, sepakat, misalnya tidak ribut-ribut, sepakat,” tandasnya.
Hal ini menunjukkan komitmennya terhadap transparansi dan akurasi dalam pelaporan data PHK.
Baru-baru ini, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli memberikan laporan mengenai jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) yang mencapai 24.036 orang hingga tanggal 23 April 2025. Angka ini hampir sepertiga dari total PHK sepanjang tahun 2024, yang mencatatkan 77.565 orang menjadi korban. “Saat ini sudah terdata sekitar 24 ribu orang (kena PHK). Jadi sudah sepertiga dari tahun 2024. Jadi kalau ada yang bertanya, PHK year to year saat ini dibanding tahun lalu memang meningkat,” ungkap Menaker dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI pada hari Senin, 5 Mei 2025.
Berdasarkan data yang ada, daerah yang paling banyak mengalami PHK adalah Jawa Tengah dengan 10.692 orang. Diikuti oleh Jakarta yang mencatat 4.649 orang, dan Riau dengan 3.545 orang yang terdampak. Sektor industri pengolahan menjadi yang paling terdampak dengan 16.801 orang mengalami PHK. Sementara itu, sektor perdagangan besar dan eceran mencatatkan 3.622 orang, dan aktivitas jasa lainnya sebanyak 2.012 orang mengalami pemutusan hubungan kerja.